ACEH HEBAT -- Potensi emas yang terpendam di bawah perut bumi dataran tinggi Gayo (GTD), khususnya di Kabupaten Aceh Tengah masih terus diburu. Enam perusahaan dilaporkan masih melakukan eksplorasi atau penelitian umum di enam kecamatan, tetapi hasilnya belum dipublikasikan ke publik sampai kemarin.
Sebelumnya, 13 perusahaan tercatat melakukan eksplorasi, tetapi tujuh di antaranya telah hengkang, tanpa alasan yang jelas, sehingga tersisa enam perusahaan. Ke enam perusahaan tersbut yakni PT Linge Mineral Resources, PT Takengon Mineral Resources, PT Surya Mineral Resources, PT Nanggroe Khuchi Peuga I dan II serta PT Fajar Putra Manggala.
Hal itu derdasarkan data yang dikeluarkan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Energi Sumberdaya Mineral (Disperindagkop-ESDM) Kabupaten Aceh Tengah. Saat ini, keenamnya sedang melakukan eksplorasi di logam emas DMP di Kecamatan Linge, Bintang, Ketol, Pegasing, Rusip dan Kecamatan Celala dengan total area seluas 95.451 hektare.
“Seluruh perusahaan yang masih beroperasi, hanya sebatas eksplorasi sesuai dengan izin yang mereka kantongi dan belum sampai tahapan eksploitasi,” kata Kadisperindagkop-ESDM Aceh Tengah, Munzir kepada Serambi, Senin (16/11). Menurut dia, izin yang dikantongi keenam perusahaan tersebut sesuai dengan dasar hukum penerbitan izin usaha pertambangan yaitu Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara.
“Sebelumnya, ada 13 perusahaan yang mengantongi izin eksplorasi di Aceh Tengah, namun sebagian telah berhenti dan telah mengembalikan areal eksplorasi kepada Pemkab Aceh Tengah,” jelasnya. Disebutkan, dengan banyaknya perusahaan tambang, maka juga memberi keuntungan untuk mendapatkan data tentang potensi pertambangan di daerah ini.
Dia beralasan, tidak bisa dilakukan sendiri oleh Pemkab Aceh Tengah, lantaran besarnya biaya. “Pihak perusahaan ini, secara berkala melaporkan hasil eksplorasinya kepada kami,” ungkap Munzir. Disamping itu, pihak perusahaan juga diwajibkan untuk membayar sewa tanah (land rent) sesuai izin masing-masing yang disetor langsung ke kas negara.
“Selain kita peroleh data, ada pemasukan untuk negara dan paling penting untuk diketahui, ada tenaga kerja lokal yang dilibatkan dalam kegiatan eksplorasi tersebut,” tuturnya. Berkaitan dengan izin eksplorasi, usaha pertambangan berbeda dengan izin eksploitasi.
Dirincikan, izin eksplorasi hanya bersifat penelitian umum untuk mengetahui ada atau tidaknya indikasi hasil tambang. “Bila potensi tambangnya ada, baru perusahaan mengajukan izin usaha eksploitasi. Dan izin eksploitasi lebih ketat dibandingkan dengan eksplorasi,” lanjut Munzir.
Ditegaskan, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, semua perizinan menyangkut dengan usaha pertambangan telah menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. “Izin eksplorasi hanya tiga tahun, bila diperpanjang, maksimal hanya sampai delapan tahun,” pungkas Kadisperindagkop-ESDM Aceh Tengah ini.
Baca: Cara Warga Aceh Menambang Emas di Daerahnya
Eksplorasi dan pengeboran emas di kawasan Tenkereng, Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues (Galus) mulai mengancam hutan lindung dan jalan nasional. Kegiatan pencarian emas dengan teknologi modern ini sudah berlangsung lima tahun dan daerah hanya menerima Rp 700 juta/tahun dari hasil pengeboran emas.
Pengeboran batu mulia itu dilakukan oleh PT Gayo Mineral Resourching (GMR) di samping perbatasan hutan lindung dengan hutan produksi pengunaan area lainnya. Pengeboran juga dilakukan tidak jauh dari badan jalan nasional, lintasan Blangkejeren menuju Takengon, Aceh Tengah.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Serambi, PT GMR awalnya perusahaan melakukan pengeboran di satu titik di lokasi yang sama, tetapi kini berpindah-pindah, sehingga tidak jauh lagi dari bahu jalan. “Eksplorasi emas mulai mengancam keselamatan hutan lindung dan lintasan Blangkejeren-Takengon,” kata Azwar, warga Pantan Cuaca yang didampingi beberapa rekannya yang mengaku sudah memantau kegiatan eksplorasi emas tersebut.
Kadis Kehutanan Galus. Mukmin SPd kepada Serambi, Senin (23/6/2014) mengatakan, aktivitas pengeboran oleh PT GMR di Tengkereng, Kecamatan Pantan Cuaca belum masuk kawasan hutan lindung. Dia mengklaim, masih di kawasan HPL (Hutan Produksi areal pengunaan Lainnya).
Ancaman kerusakan jalan nasional di Pantan Cuaca terjadi dalam dua terakhir ini dan yang terbaru dalam dua bulan terakhir ini, jalur putus total, tidak bisa dilewati kendaraan. akibat ditutup material longsor selama tiga pekan, tetapi sudah bisa dilewati lagi akhir pekan lalu. Kondisi itu terus terjadi dalam dua tahun terakhir ini, tanpa ada penanggulangan secara permanen dari pemerintah. Kekhawatiran warga telah terjadi, tetapi belum diketahui, apakah dari pengeboran emas atau juga bencana alam, seusai diguyur hujan deras. (sumber)
Sebelumnya, 13 perusahaan tercatat melakukan eksplorasi, tetapi tujuh di antaranya telah hengkang, tanpa alasan yang jelas, sehingga tersisa enam perusahaan. Ke enam perusahaan tersbut yakni PT Linge Mineral Resources, PT Takengon Mineral Resources, PT Surya Mineral Resources, PT Nanggroe Khuchi Peuga I dan II serta PT Fajar Putra Manggala.
Hal itu derdasarkan data yang dikeluarkan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, Energi Sumberdaya Mineral (Disperindagkop-ESDM) Kabupaten Aceh Tengah. Saat ini, keenamnya sedang melakukan eksplorasi di logam emas DMP di Kecamatan Linge, Bintang, Ketol, Pegasing, Rusip dan Kecamatan Celala dengan total area seluas 95.451 hektare.
“Seluruh perusahaan yang masih beroperasi, hanya sebatas eksplorasi sesuai dengan izin yang mereka kantongi dan belum sampai tahapan eksploitasi,” kata Kadisperindagkop-ESDM Aceh Tengah, Munzir kepada Serambi, Senin (16/11). Menurut dia, izin yang dikantongi keenam perusahaan tersebut sesuai dengan dasar hukum penerbitan izin usaha pertambangan yaitu Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara.
“Sebelumnya, ada 13 perusahaan yang mengantongi izin eksplorasi di Aceh Tengah, namun sebagian telah berhenti dan telah mengembalikan areal eksplorasi kepada Pemkab Aceh Tengah,” jelasnya. Disebutkan, dengan banyaknya perusahaan tambang, maka juga memberi keuntungan untuk mendapatkan data tentang potensi pertambangan di daerah ini.
Dia beralasan, tidak bisa dilakukan sendiri oleh Pemkab Aceh Tengah, lantaran besarnya biaya. “Pihak perusahaan ini, secara berkala melaporkan hasil eksplorasinya kepada kami,” ungkap Munzir. Disamping itu, pihak perusahaan juga diwajibkan untuk membayar sewa tanah (land rent) sesuai izin masing-masing yang disetor langsung ke kas negara.
“Selain kita peroleh data, ada pemasukan untuk negara dan paling penting untuk diketahui, ada tenaga kerja lokal yang dilibatkan dalam kegiatan eksplorasi tersebut,” tuturnya. Berkaitan dengan izin eksplorasi, usaha pertambangan berbeda dengan izin eksploitasi.
Dirincikan, izin eksplorasi hanya bersifat penelitian umum untuk mengetahui ada atau tidaknya indikasi hasil tambang. “Bila potensi tambangnya ada, baru perusahaan mengajukan izin usaha eksploitasi. Dan izin eksploitasi lebih ketat dibandingkan dengan eksplorasi,” lanjut Munzir.
Ditegaskan, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, semua perizinan menyangkut dengan usaha pertambangan telah menjadi kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat. “Izin eksplorasi hanya tiga tahun, bila diperpanjang, maksimal hanya sampai delapan tahun,” pungkas Kadisperindagkop-ESDM Aceh Tengah ini.
Baca: Cara Warga Aceh Menambang Emas di Daerahnya
Eksplorasi dan pengeboran emas di kawasan Tenkereng, Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues (Galus) mulai mengancam hutan lindung dan jalan nasional. Kegiatan pencarian emas dengan teknologi modern ini sudah berlangsung lima tahun dan daerah hanya menerima Rp 700 juta/tahun dari hasil pengeboran emas.
Pengeboran batu mulia itu dilakukan oleh PT Gayo Mineral Resourching (GMR) di samping perbatasan hutan lindung dengan hutan produksi pengunaan area lainnya. Pengeboran juga dilakukan tidak jauh dari badan jalan nasional, lintasan Blangkejeren menuju Takengon, Aceh Tengah.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Serambi, PT GMR awalnya perusahaan melakukan pengeboran di satu titik di lokasi yang sama, tetapi kini berpindah-pindah, sehingga tidak jauh lagi dari bahu jalan. “Eksplorasi emas mulai mengancam keselamatan hutan lindung dan lintasan Blangkejeren-Takengon,” kata Azwar, warga Pantan Cuaca yang didampingi beberapa rekannya yang mengaku sudah memantau kegiatan eksplorasi emas tersebut.
Kadis Kehutanan Galus. Mukmin SPd kepada Serambi, Senin (23/6/2014) mengatakan, aktivitas pengeboran oleh PT GMR di Tengkereng, Kecamatan Pantan Cuaca belum masuk kawasan hutan lindung. Dia mengklaim, masih di kawasan HPL (Hutan Produksi areal pengunaan Lainnya).
Ancaman kerusakan jalan nasional di Pantan Cuaca terjadi dalam dua terakhir ini dan yang terbaru dalam dua bulan terakhir ini, jalur putus total, tidak bisa dilewati kendaraan. akibat ditutup material longsor selama tiga pekan, tetapi sudah bisa dilewati lagi akhir pekan lalu. Kondisi itu terus terjadi dalam dua tahun terakhir ini, tanpa ada penanggulangan secara permanen dari pemerintah. Kekhawatiran warga telah terjadi, tetapi belum diketahui, apakah dari pengeboran emas atau juga bencana alam, seusai diguyur hujan deras. (sumber)
0 komentar:
Posting Komentar