Lalu apakah Yaman akan segera perang besar?
Banyak pihak memperkirakan bahwa perang besar akan sulit terjadi saat ini mengingat keseimbangan kekuatan yang terjadi di lapangan.
Pada awal konflik terjadi pada 2014, pasukan kelompok Houthi sedang berada di atas angin karena mendapat dukungan dari Garda Republik dan Kepresidenan yang saat itu masih mendukung mantan Presiden Abdullah Saleh yang bersekutu dengan kelompok Houthi.
Milisi Houthi dengan mudah memperluas kekuasaannya mengingat pasukan yang loyal ke Presiden Mansour Hadi masih kucar kacir dan berada pada tahap awal pembentukan kembali.
Perlahan, kini pasukan pemerintah sudah lebih matang dengan kekuatan sekitar 300 ribu pasukan. Sebagian besar berkonsentrasi di Marib.
Kelompok Houthi sendiri diperkirakan berjumlah 200 ribuan namun memiliki persenjataan lebih canggih diwarisi dari 2/3 kekuatan militer Yaman sebelumnya.
Dengan kata lain, perang besar di Yaman sulit akan terulang kembali kecuali sebuah keajaiban terjadi.
Pasukan pemerintah juga mendapat dukungan dari milisi STC Yaman Selatan karena kedua pihak mendapat bagian 50-50 dalam kursi kabinet.
Walau menjadi kelebihan bagi pemerintah, milisi STC juga akan menjadi kelemahan mengingat keduanya sama-sama bersaing untuk memperebutkan Hadramaut.
Jika STC mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mengusai Lembah Hadramaut dan mengusir pasukan pemerintan dari Kodam Satu maka STC dapat dianggap sebagai musuh bersama pemerintah dan kelompok Houthi.
Begitu sebaliknya, jika STC tidak menguasai Hadramaut maka rencana Aden untuk memisahkan diri akan pupus di tengah jalan.
Kemungkinan besar yang terjadi adalah status quo di mana masing-masing pihak akan mempertahankan posisi masing-masing sembari memperkuat basis massa di wilayah yang mereka kuasai.
Walau begitu perang dalam skala kecil kemungkinan akan terjadi di Taiz yang kini sedang dikepung dan diblokade pasukan Houthi.
Penduduk Taiz kini berada dalam kesengsaraan karena jalan utama menuju ibukota diblokir oleh kelompok Houthi.
Meski ada jalan tikus atau jalan non aspal menjadi akses ekonomi keluar, namun hal itu akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi di kawasan.
Kondisi status quo juga terjadi di Suriah dengan empat pemerintahan yang saling klaim.
Melihat dari kekuatan militer, pemerintah Bashar Al Assad sebenarnya sudah mempunyai kekuatan untuk memperebutkan semua wilayah di tiga pemerintahan lainnya.
Namun, karena kondisinya yang masih diembargo AS secara ekonomi, maka Suriah yang kembali besar seperti sedia kala itu akan tetap menjadi target embargo Kaesar.
Belum lagi, khusus di wilayah pemerintahan penyelamat atau SG di Idlib dan pemerintahan interim atau SIG/SOC di wilayah oposisi Azaz merupakan hanya kamp pengungsi.
Sehingga secara militer dan ekonomi, akan sangat merugikan bagi Damaskus untuk mencaplok kedua wilayah itu.
Assad harus menanggung biaya repatriasi para pengungsi dan menyediakan hunian bagi mereka yang rumahnya sudah rusak.
Begitu juga jika Assad mencaplok wilayah pemerintahan SDC/AANES atau Qasad di Timur Suriah, akan menghadapi tantangan besar dengan kehadiran AS dan koalisi.
Di Irak saja, sampai sekarang pasukan AS masih bercokol meski parlemen setempat sudah tidak menyetujui adanya pasukan AS dkk di negaranya.
Rusia dan Iran yang membantu Assad juga bukan pihak yang ingin berhadapan langsung dalam skala besar dengan pasukan AS dkk.
Bahkan, jika terjadi hal yang luar biasa, misalnya elemen di Qasad mencapai kesepakatan damai dengan Assad, Damaskus tidak serta merta diuntungkan karena harus menanggung beban untuk rehabilitasi dan perbaikan ekonomi secara nasional.
Di Daraa dan Suwayda saja, yang kini dikuasai oleh pemerintah, rakyat masih bergejolak karena merasa kurang diperhatikan oleh pemerintah. Aksi saling culik dan pembunuhan secara senyap sering terjadi antara petugas intelijen pemerintah dan kelompok-kelompok lokal.
0 komentar:
Posting Komentar