Maraknya penambangan liar atau ilegal di Provinsi Aceh, terus mendapat perhatian dan sorotan sejumlah pihak. Pasalnya, aktifitas ini telah merusak dan mengancam keselamatan hutan serta ekosistemnya.
Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh meminta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Aceh untuk segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menyelesaikan persoalan ini. Desakan dan permintaan itu pun telah disampaikan kepada Wakil Ketua DPRD Aceh Teuku Irwan Djohan.
Koordinator GeRAK Aceh Askhalani mengungkapkan, pembentukan Pansus ini bertujaun untuk menyelamatkan sumber daya alam Aceh. Serta dapat menertibkan perusahaan yang tidak mentaati azaz dan aturan dalam menjalankan usaha pertambangan.
“Ini untuk menyelesaikan semua masalah yang menyangkut pengelolaan hutan dan lahan di Aceh, khususnya persoalan kerusakan serta pencemaran lingkungan akibat aktifitas pertambangan,” kata Askhalani di Banda Aceh, Jumat (16/2).
Menurut Askhalani, hingga saat ini persoalah Izin Usaha Pertambangan (IUP) dinilai masih sangat amburadul. Sehingga, perlu mendapat perhatian untuk perbaikan demi menyelamatkan alam Aceh.
“Menyangkut kesalahan administrasi juga sudah pernah dilaporkan kepada yang berwenang. Namun, sampai saat ini belum diketahui apakah telah ditindaklanjuti atau belum,” katanya.
Dia menilai, ihwal IUP di Aceh saat ini patut dipertanyakan kejelasan dan kebenarannya. Sebab, data yang dimiliki Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh dan Kementerian ESDM RI berbeda atau tidak singkron.
"Data Kementerian ESDM jumlah IUP aktif di Aceh sebanyak 40 perusahaan, sementara data yang dimiliki dari Dinas ESDM Aceh hanya 34 perusahaan," ungkapnya.
Ia menduga, perbedaan ini disebabkan adanya rekomendasi Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh kepada Kementerian ESDM untuk menetapkan status sejumlah perusahaan menjadi Clear and Clean (CnC), serta meningkatkan statusnya dari ekplorasi ke Operasi Produksi.
Padahal dari beberapa perusahaan yang direkomendasi tersebut, sedikitnya ada tujuh perusahaan sudah dicabut izinnya oleh Pemerintah Kabupeten/Kota. Tetapi masih juga diberikan rekomendasi.
"Terdapat 104 perusahaan di Aceh yang sudah berakhir izinnya. Tapi Surat Keputusan (SK) pencabutannya belum dikeluarkan," cetusnya.
Selain itu, GeRAK Aceh juga mendesak DPRD Aceh turun langsung ke lokasi pertambangan dan melihat sendiri pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari perusahaan pertambangan.
Ia berharap, persoalan ini mendapat respon positif dari DPRD Aceh dan segera menindakalanjutinya. Agar persoalan tambang di Aceh yang selama ini belum tuntas dapat diselesaikan.
Maraknya tambang ilegal di Aceh benar adanya. Pada awal Januari lalu, Kepolisian Daerah (Polda) Aceh berhasil mengungkap dan menangkap penambang emas ilegal yang selama ini beroperasi di wilayah Kabupaten Pidie.
Aktifitas penambangan emas ilegal telah menimbulkan kerusakan lingkungan. Bahkan sejak November 2017 lalu Polda Aceh beserta jajaran telah menangkap enam tersangka penambang emas ilegal dan sejumlah barang bukti. (sumber)
Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh meminta, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Aceh untuk segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menyelesaikan persoalan ini. Desakan dan permintaan itu pun telah disampaikan kepada Wakil Ketua DPRD Aceh Teuku Irwan Djohan.
Koordinator GeRAK Aceh Askhalani mengungkapkan, pembentukan Pansus ini bertujaun untuk menyelamatkan sumber daya alam Aceh. Serta dapat menertibkan perusahaan yang tidak mentaati azaz dan aturan dalam menjalankan usaha pertambangan.
“Ini untuk menyelesaikan semua masalah yang menyangkut pengelolaan hutan dan lahan di Aceh, khususnya persoalan kerusakan serta pencemaran lingkungan akibat aktifitas pertambangan,” kata Askhalani di Banda Aceh, Jumat (16/2).
Menurut Askhalani, hingga saat ini persoalah Izin Usaha Pertambangan (IUP) dinilai masih sangat amburadul. Sehingga, perlu mendapat perhatian untuk perbaikan demi menyelamatkan alam Aceh.
“Menyangkut kesalahan administrasi juga sudah pernah dilaporkan kepada yang berwenang. Namun, sampai saat ini belum diketahui apakah telah ditindaklanjuti atau belum,” katanya.
Dia menilai, ihwal IUP di Aceh saat ini patut dipertanyakan kejelasan dan kebenarannya. Sebab, data yang dimiliki Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh dan Kementerian ESDM RI berbeda atau tidak singkron.
"Data Kementerian ESDM jumlah IUP aktif di Aceh sebanyak 40 perusahaan, sementara data yang dimiliki dari Dinas ESDM Aceh hanya 34 perusahaan," ungkapnya.
Ia menduga, perbedaan ini disebabkan adanya rekomendasi Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh kepada Kementerian ESDM untuk menetapkan status sejumlah perusahaan menjadi Clear and Clean (CnC), serta meningkatkan statusnya dari ekplorasi ke Operasi Produksi.
Padahal dari beberapa perusahaan yang direkomendasi tersebut, sedikitnya ada tujuh perusahaan sudah dicabut izinnya oleh Pemerintah Kabupeten/Kota. Tetapi masih juga diberikan rekomendasi.
"Terdapat 104 perusahaan di Aceh yang sudah berakhir izinnya. Tapi Surat Keputusan (SK) pencabutannya belum dikeluarkan," cetusnya.
Selain itu, GeRAK Aceh juga mendesak DPRD Aceh turun langsung ke lokasi pertambangan dan melihat sendiri pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari perusahaan pertambangan.
Ia berharap, persoalan ini mendapat respon positif dari DPRD Aceh dan segera menindakalanjutinya. Agar persoalan tambang di Aceh yang selama ini belum tuntas dapat diselesaikan.
Maraknya tambang ilegal di Aceh benar adanya. Pada awal Januari lalu, Kepolisian Daerah (Polda) Aceh berhasil mengungkap dan menangkap penambang emas ilegal yang selama ini beroperasi di wilayah Kabupaten Pidie.
Aktifitas penambangan emas ilegal telah menimbulkan kerusakan lingkungan. Bahkan sejak November 2017 lalu Polda Aceh beserta jajaran telah menangkap enam tersangka penambang emas ilegal dan sejumlah barang bukti. (sumber)
0 komentar:
Posting Komentar