Perbandingan Kekuatan Aceh Saat Melawan Invasi Belanda



Perang kolonial di Sumatra abad ke-19 bukan sekadar benturan senjata, tetapi juga pertarungan demografi dan kekuatan rakyat. Dua kekuatan lokal terbesar di Sumatra saat itu adalah Kesultanan Aceh di ujung utara dan konfederasi adat Batak Toba di bawah Sisingamangaraja XII. Keduanya punya keunikan kekuatan rakyat yang sulit ditaklukkan kolonial Belanda.

Di Aceh, berdasarkan catatan kolonial Belanda, jumlah penduduk sebelum invasi pertama tahun 1873 diperkirakan mencapai 500.000 hingga 600.000 jiwa. Angka ini menjadikan Aceh sebagai salah satu negeri Melayu paling padat penduduk di Nusantara kala itu. Persebaran penduduknya meliputi wilayah pesisir, dataran tinggi, dan lembah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, hingga ke Gayo dan Alas.

Kesultanan Aceh memiliki sistem wajib militer adat yang disebut perang sabil. Setiap laki-laki dewasa wajib membela tanah air jika ada ancaman asing. Berdasarkan laporan Residen Belanda di Riau, jumlah manpower Aceh yang bisa dimobilisasi mencapai 40.000 hingga 50.000 orang dalam kondisi darurat perang.

Saat invasi pertama ke Aceh tahun 1873, Belanda mengerahkan 3.198 serdadu, 1.500 pasukan pribumi Ambon dan Jawa, serta 400 marinir. Armada ini dilengkapi enam kapal perang dan 40 meriam lapangan. Meski unggul senjata, pasukan Belanda kalah dalam pertempuran lapangan di wilayah Kutaraja dan pedalaman.

Setelah gagal dalam invasi pertama, Belanda mengerahkan 10.000 lebih pasukan dalam invasi kedua tahun 1874. Armada modern dari Batavia, Surabaya, dan Belanda dikerahkan, dilengkapi 100 lebih meriam dan senjata berat. Kesultanan Aceh tetap bertahan di luar ibu kota meski Kutaraja jatuh.

Perang Aceh menjadi perang kolonial terpanjang di Nusantara. Bahkan hingga tahun 1904, perlawanan rakyat Aceh masih berlangsung di pedalaman, dipimpin Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan Panglima Polim. Faktor demografi yang besar membuat Aceh sulit ditaklukkan penuh.

Di wilayah Batak Toba, situasi serupa terjadi. Sebelum 1880-an, wilayah kekuasaan Sisingamangaraja XII dihuni 250.000 hingga 300.000 jiwa. Lebih padat daripada Kesultanan Deli, Asahan, Langkat, Serdang, Barus, dan Mandailing digabungkan sekalipun.

Sisingamangaraja XII memiliki sistem konfederasi adat berbasis huta. Setiap desa wajib mengirim pejuang saat panggilan perang adat. Total pasukan tempur aktif di wilayah ini diperkirakan mencapai 60.000 hingga 70.000 orang, terbesar di Sumatra pada masanya.

Belanda mulai menyerang Tanah Batak sejak 1878. Dalam ekspedisi pertama, Belanda hanya mampu mengerahkan sekitar 3.000 pasukan, menghadapi ribuan pejuang Batak di medan perbukitan berat. Pertempuran di Balige, Bakara, dan Muara menjadi perang gerilya paling mematikan.

Kekuatan man power rakyat Batak menjadi modal besar dalam mempertahankan wilayah. Medan berbukit, hutan lebat, dan pertahanan adat membuat ekspedisi Belanda berkali-kali gagal. Baru pada 1907, Belanda bisa menaklukkan sisa wilayah Danau Toba.

Dalam skala perbandingan, jumlah manpower militer Aceh sekitar 40.000–50.000 orang dari 600.000 jiwa penduduk. Sementara Batak memiliki hingga 60.000 pejuang dari 300.000 jiwa. Angka ini menunjukkan bahwa kedua kawasan memiliki tingkat partisipasi militer rakyat tertinggi di Nusantara saat itu.

Di pihak Belanda, kekuatan terbesar hanya bisa dikumpulkan saat invasi kedua Aceh dan ekspedisi Tapanuli awal abad ke-20. Saat puncak perang Aceh, Belanda mengerahkan hingga 10.000–15.000 serdadu di front Aceh. Sedangkan di Toba, hanya sekitar 3.000–4.000 pasukan.

Perbedaan jumlah ini mencerminkan besarnya ketangguhan rakyat Aceh dan Batak. Meskipun kalah dalam persenjataan, mereka unggul dalam jumlah personel tempur, medan berat, dan sistem konfederasi adat yang membuat mobilisasi laskar berlangsung cepat.

Kesimpulannya, baik Aceh maupun Batak Toba membuktikan bahwa kekuatan rakyat yang solid secara adat dan budaya mampu bertahan lebih lama menghadapi kekuatan kolonial modern. Bahkan perang Aceh menjadi perang kolonial terpanjang dan perang Batak menjadi salah satu perlawanan pedalaman terakhir yang jatuh.

Jika Aceh bertahan hingga 1904 dan Batak hingga 1907, ini tidak lepas dari jumlah penduduk besar, man power siap perang tinggi, dan sistem adat yang mempersatukan masyarakat di luar kekuasaan kolonial. Dua wilayah ini menjadi catatan penting dalam sejarah perlawanan rakyat Sumatra.


SHARE

About peace

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Terbaru