Pergolakan politik di Suriah seharusnya tidak terjadi usai dilantiknya kabinet pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan Presiden Ahmed al-Sharaa pada akhir Maret 2025 lalu.
Langkah ini menandai era signifikan, terutama dengan dihapusnya jabatan Perdana Menteri, menempatkan al-Sharaa langsung sebagai kepala eksekutif.
Keputusan ini secara fundamental mengubah struktur pemerintahan yang telah lama dikenal, menjadikannya lebih terpusat pada figur presiden dalam mengelola roda negara.
Pergeseran ini bukan sekadar perubahan nomenklatur, melainkan sebuah restrukturisasi fundamental yang bertujuan untuk mempercepat proses pembangunan kembali dan stabilisasi pascakonflik. Dengan Presiden memegang kendali penuh atas eksekutif, koordinasi antar kementerian diharapkan menjadi lebih efisien dan responsif terhadap tantangan yang dihadapi negara yang porak-poranda oleh perang bertahun-tahun.
Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah upaya pemerintah baru untuk menghadirkan wajah yang lebih inklusif dalam jajaran kabinetnya. Presiden al-Sharaa secara eksplisit menyatakan komitmennya untuk melindungi minoritas, sebuah isu krusial di negara yang memiliki keragaman etnis dan agama. Niat ini tercermin dalam beberapa penunjukan penting yang mencoba menjembatani jurang perbedaan di tengah masyarakat.
Amjad Badr, seorang tokoh dari komunitas Druze di Sweida, diangkat sebagai Menteri Pertanian. Kelompok Druze dari milisi Al Hajri pro Israel belakangan melakukan sejumlah operasi yang menargetkan Arab Badui
Kehadiran tokoh Deuze di kabinet menjadi simbol kuat bahwa suara-suara minoritas mulai diakomodasi dalam pemerintahan baru. Ini adalah langkah yang patut dicatat, mengingat kompleksitas hubungan historis antara berbagai komunitas di Suriah.
Tak hanya Druze, kabinet ini juga memperlihatkan representasi dari komunitas Alawite melalui Yarub Badr yang menjabat sebagai Menteri Transportasi. Inklusi ini semakin menegaskan arah baru pemerintahan yang ingin merangkul semua elemen masyarakat, terlepas dari latar belakang sektarian mereka. Mohammed Terko, yang berasal dari latar belakang Kurdi, juga ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan, menambah dimensi keberagaman dalam tim eksekutif.
Kehadiran menteri Kristen Hind Kabawat sebagai Menteri Sosial dan Tenaga Kerja juga menarik perhatian. Ia tidak hanya menjadi satu-satunya perempuan dalam kabinet ini, melainkan juga dikenal sebagai seorang diplomat dan aktivis sosial terkemuka. Pengalaman dan latar belakangnya diharapkan dapat membawa perspektif baru dalam penanganan isu-isu sosial dan tenaga kerja yang krusial bagi pemulihan negara.
Sementara itu, posisi kunci seperti Menteri Luar Negeri dipercayakan kepada As'ad Hassan Al-Shibani, yang sebelumnya juga mengemban jabatan serupa dalam pemerintahan sementara. Bidang pertahanan kini dipegang oleh Merhaf Abu Qusrah, seorang pemimpin militer berpengalaman dari Hama yang telah lama terlibat dalam oposisi bersenjata, mencerminkan transisi kekuasaan yang juga melibatkan tokoh-tokoh dari medan perang.
Anas Khattab ditunjuk sebagai Menteri Dalam Negeri, sebuah posisi vital dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Latar belakangnya sebagai salah satu pendiri Jabat al-Nusra, dan mantan Kepala Intelijen pada pemerintahan penyelamat di Idlib sebelumnya, menunjukkan adanya integrasi figur-figur penting dari kelompok-kelompok yang sebelumnya dominan di wilayah-wilayah tertentu.
Kabinet ini juga diperkuat oleh para teknokrat seperti Mohammad Anjarani sebagai Menteri Urusan Lokal, yang merupakan seorang insinyur mekanik, dan Marwan Al-Halabi sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, seorang dokter spesialis. Kehadiran mereka menegaskan komitmen pemerintah untuk mengisi posisi dengan individu-individu yang memiliki keahlian spesifik di bidangnya, demi efisiensi dan efektivitas pembangunan kembali negara.
Nidal Al-Shar`, seorang ahli ekonomi internasional, menduduki posisi Menteri Ekonomi, sebuah peran krusial dalam upaya rehabilitasi ekonomi Suriah. Pengalamannya di kancah internasional diharapkan dapat menarik investasi dan merumuskan kebijakan yang tepat untuk mengangkat kembali perekonomian yang telah lama lumpuh.
Mohammad Abu Khair Shukri, seorang ulama terkemuka, diangkat sebagai Menteri Wakaf. Penunjukannya menekankan pentingnya peran agama dalam masyarakat Suriah dan upaya pemerintah untuk mengelola urusan keagamaan dengan pendekatan yang terstruktur. Muzhar Al-Ways ditunjuk sebagai Menteri Kehakiman, bertugas menegakkan supremasi hukum dalam fase transisi ini.
Namun, di balik upaya inklusivitas ini, dinamika hubungan dengan kelompok-kelompok seperti Pasukan Demokratik Suriah (SDF) masih menjadi tantangan.
Meskipun ada laporan tentang nota kesepahaman dan pembicaraan lanjutan antara Presiden al-Sharaa dan komandan SDF Mazloum Abdi, SDF sendiri tidak terlibat langsung dalam pembentukan kabinet. Hal ini menunjukkan kompleksitas politik dan militer yang memerlukan negosiasi terpisah dan mendalam mengenai pembagian kekuasaan dan integrasi pasukan.
Pemerintah baru ini menegaskan bahwa para menterinya melayani dalam kapasitas pribadi dan tidak mewakili faksi politik tertentu. Ini sejalan dengan deklarasi "Hari Kemenangan" yang membubarkan faksi militer dan badan politik revolusioner, mengintegrasikannya ke dalam institusi negara. Dengan fokus pada kabinet yang bersifat teknokratis, harapan besar diletakkan pada kemampuan para menteri untuk membangun kembali fondasi negara tanpa terikat pada agenda faksi masa lalu.
Tentu saja, jalan ke depan tidak akan mudah. Tantangan berupa krisis ekonomi, infrastruktur yang hancur, dan kebutuhan rekonsiliasi sosial-politik masih membayangi. Namun, dengan langkah awal inklusivitas dalam kabinet dan struktur pemerintahan yang lebih terpusat, pemerintah Ahmed al-Sharaa berharap dapat membuka lembaran baru bagi Suriah.
Meskipun informasi detail mengenai semua 23 menteri tidak sepenuhnya tersedia untuk publik, penunjukan yang telah diketahui memberikan gambaran tentang arah yang ingin dicapai oleh pemerintah. Keberadaan perwakilan dari berbagai latar belakang etnis dan agama, serta penekanan pada keahlian teknokratis, adalah sinyal positif.
Terlepas dari optimisme, pengalaman pahit di masa lalu tentu menjadi pelajaran berharga. Insiden-insiden yang menimpa minoritas, seperti yang pernah terjadi terhadap komunitas Kristen di beberapa wilayah, menjadi catatan kelam yang harus dipastikan tidak terulang. Dengan hadirnya komitmen untuk melindungi semua elemen masyarakat, termasuk minoritas Kristen yang merupakan bagian integral dari mosaik Suriah, pemerintah baru diharapkan dapat menjamin keamanan dan hak-hak setiap warga negara.
Perjalanan Suriah menuju stabilitas dan kemakmuran masih panjang, namun pembentukan kabinet baru ini, dengan segala upaya inklusivitasnya, adalah langkah penting yang akan terus diamati oleh dunia. Keberhasilan pemerintah dalam merealisasikan janji-janjinya akan menjadi penentu masa depan bangsa yang telah lama menderita.
Bagaimana menurut Anda, apakah komposisi kabinet ini cukup menjanjikan untuk masa depan Suriah?
0 komentar:
Posting Komentar