Di jantung Afrika Barat, Burkina Faso selama ini dikenal sebagai negeri para pemberani. Tapi di balik keberanian itu, ada satu tokoh lawas yang tetap nongol di tiap drama: Prancis. Negara mantan penjajah ini masih rajin mondar-mandir di negeri bekas koloninya, pura-pura peduli sambil bawa koper berisi kepentingan. Kalau diumpamakan, Prancis ini kayak mantan pacar yang ngaku sayang, tapi dompet mantan tetap dicopet diam-diam.
Sejak dulu, hubungan Burkina Faso dan Prancis ibarat hubungan mantan yang nggak move on. Ketika Blaise Compaoré masih duduk manis di kursi presiden selama 27 tahun, Prancis tampil sebagai teman dekat yang doyan titip pesan. Di depan publik bilang bantu lawan teroris, di belakang bisa ngopi bareng siapa saja yang gangguin lahan tambang emas.
Di masa itu, berbagai kelompok bersenjata di Sahel masih tercerai-berai. Tapi Compaoré dan penasihat andalannya, Moustapha Ould Limam Chafi, hobi mengundang para jagoan pemberontak buat nego di ruang VIP. Konon katanya demi damai, padahal yang dipikir jangan-jangan, “pokoknya asal nggak ganggu kepentingan emas kita, ayok kita ngobrol.”
Prancis pun ikut main aman. Negara itu senang pura-pura sibuk cari perdamaian. Hostage-hostage Eropa yang nyasar ke tangan kelompok bersenjata segera ditolong. Tapi warga lokal yang tiap hari ketemu senjata? Halah, itu urusan internal katanya. Saking liciknya, Prancis pernah disebut-sebut ngatur siapa yang boleh ngamuk, siapa yang wajib tenang.
Begitu Compaoré jatuh pada 2014 lewat demo berjamaah, suasana langsung chaos. Prancis tiba-tiba tampil sebagai pahlawan kesiangan, ngaku siap bantu. Tapi, seperti biasa, bantuannya pilih-pilih. Kalau tambang emas atau proyek migas aman, sisanya biar rakyat lokal yang ribut.
Eh tetiba muncul pemberontak, beraliran ini dan itu, bikin kacau di Burkina Faso. Tapi yang bikin lucu, di kala Prancis sibuk bilang “kami melawan teroris”, warga di Ouagadougou bilang, “yang bikin tambah kacau ya kalian juga.”
Banyak yang percaya kalau Prancis ini ahli permainan dua kaki. Satu kaki injak senjata, satu kaki injak dompet emas. Operasi militer Barkhane digelar di Sahel katanya buat basmi teroris. Tapi kok malah makin ramai yang bersenjata? Bisa jadi, katanya, Prancis sengaja biarin kelompok tertentu hidup demi jaga-jaga kalau sewaktu-waktu bisa dipakai.
Ketika pasukan Prancis ditempatkan, warga lokal mulai curiga. Bukannya bikin tenang, malah tambah was-was. Karena yang diserbu seringkali bukan yang bikin rusuh, tapi yang menghalangi jalur bisnis emas dan uranium. Sementara kelompok bersenjata yang nggak ganggu tambang? Bisa-bisa diajak ngopi dulu.
Ibrahim Traoré, presiden muda yang naik lewat kudeta 2022, jadi wajah baru perlawanan. Dia tahu betul Prancis itu pintar basa-basi. Di depan kamera salaman, di belakang bisa pasang ranjau ekonomi. Traoré mulai gencar dorong sentimen anti-Prancis. “Keluar kalian dari negeri kami,” katanya. Unjuk rasa bertebaran, bendera Prancis dibakar, mural pro-Rusia muncul di dinding.
Yang paling bikin ngakak, pas Prancis dibilang sekongkol sama kelompok bersenjata, mereka pura-pura kaget. “Mana mungkin?” katanya. Tapi warga Burkina Faso tahu, kalau tiba-tiba ada wilayah aman yang padahal sarang milisi, pasti ada deal di belakang meja. Emang kebiasaan.
Tak heran, kalau warga mulai anggap Prancis ini kayak maling teriak maling. Ngaku perang lawan teroris, tapi malah nyimpen beberapa buat cadangan kalau-kalau butuh pengalihan isu. Semua bisa diatur asal jalur tambang nggak diganggu.
Lebih lucunya lagi, tiap kali ada operasi militer, yang dapat serangan justru warga desa. Senjata berat dipakai ke petani yang cuma bawa cangkul. Terorisnya? Entah kemana. Mungkin lagi ngopi sama perwira intel di pojokan.
Kini situasinya makin tegang. Burkina Faso mulai undang Rusia dan kelompok Wagner, biar Prancis nggak terlalu nyaman. Bendera Rusia berkibar di alun-alun, poster anti-Prancis nempel di pagar. Kata orang sini, “Kalau Prancis pergi, paling nggak kami tahu yang ngusir maling satu diganti maling baru, tapi setidaknya maling baru belum hafal semua jalan tikus.”
Di akhir cerita, Burkina Faso memang masih berjuang melawan milisi bersenjata. Tapi yang lebih berat lagi adalah melawan kemunafikan para pemain lama yang pura-pura jadi pahlawan. Seperti kata warga lokal, “Kalau teroris bisa diatur, kami cuma butuh musuh yang jujur. Lebih baik tahu dia maling daripada sok jadi polisi.”
Dan begitulah kisah si Prancis jago bertopeng di Burkina Faso. Drama lama dengan aktor baru, skenario tetap sama: siapa paling cepat rebut emas, dialah pahlawan palsu di cerita Sahel.
Dibuat oleh AI, lihat info lain
0 komentar:
Posting Komentar