Bung Hatta Redam Konflik Tapanuli Berdarah


Situasi politik dan militer di Sumatra pasca Agresi Militer Belanda kedua tahun 1948 meninggalkan bara dalam sekam. Salah satu daerah yang paling bergejolak kala itu adalah Tapanuli. Di wilayah ini, dua kekuatan bersenjata yang seharusnya bersatu justru terlibat dalam perseteruan sengit. Mereka adalah Brigade Banteng Negara pimpinan Mayor Liberty Malau di utara dan Brigade B pimpinan Mayor Bejo di selatan. Perang saudara kecil ini, yang berlangsung hampir dua bulan, membuat kondisi keamanan di Tapanuli lumpuh dan nyaris tak terkendali.

Presiden Soekarno saat itu menyerahkan urusan Sumatra kepada Wakil Presiden sekaligus Perdana Menteri, Mohammad Hatta. Bung Hatta menerima laporan dari Gubernur Sumatra, Teuku Mohammad Hasan, yang memohon kehadirannya untuk meredakan ketegangan. Tidak bisa membiarkan konflik internal terus membara di tengah ancaman eksternal Belanda, Hatta segera mengambil langkah strategis dengan mengutus perwira muda yang cakap, Letkol Alex Kawilarang, untuk turun langsung ke medan perselisihan.

Ketegangan di Tapanuli bermula dari friksi antarkelompok tentara dan laskar yang berasal dari berbagai daerah. Selain karena perbedaan asal usul, persaingan kepentingan politik serta bisikan-bisikan kelompok oportunis turut memperkeruh suasana. Tidak hanya soal kekuasaan, sentimen agama dan isu etnik "Batak Raya" yang dihembuskan oleh segelintir pihak juga ikut menyulut bara konflik di antara pasukan pro-republik sendiri.

Letkol Kawilarang yang didampingi Mayor Ibrahim Adjie dan Letnan K. Hutabarat melakukan perjalanan darat menuju Sibolga. Di tengah jalan, rombongan mereka sempat dihadang oleh pasukan bersenjata dari pihak Mayor Malau. Untungnya, Kawilarang yang dikenal tegas dan dihormati oleh prajurit Sumatra mampu meredakan ketegangan dan melanjutkan perjalanan tanpa insiden berarti.

Sesampainya di Sibolga, Kawilarang segera menemui berbagai pihak yang bertikai. Mulai dari Residen Tapanuli Ferdinand Lumbantobing, Mayor Malau di utara, hingga Mayor Bejo di selatan. Kawilarang mencatat, selain pertikaian militer, provokasi bernuansa agama juga berkembang di tengah perang saudara tersebut. Sebagian pasukan bahkan menggunakan kain dengan lambang palang di kepala mereka, menyerupai simbol-simbol perang agama.

Dalam laporan kepada Bung Hatta, Kawilarang menegaskan bahwa akar permasalahan bukanlah ideologi ataupun agama, melainkan perebutan pengaruh dan kekuasaan. Kawilarang menyarankan agar kedua brigade dibubarkan dan kekuatan militer di Tapanuli dibagi ke dalam beberapa sektor yang terpisah. Pembagian ini bertujuan agar masing-masing komandan memiliki wilayah tanggung jawab yang jelas dan tidak tumpang tindih.

Bung Hatta, yang telah tiba di Bukit Tinggi, menyetujui usulan tersebut. Bersama Panglima Komandemen Sumatra Kolonel Hidayat, Hatta memimpin pertemuan di Sibolga pada 28 November 1948. Dalam forum itu, diputuskan pembagian sektor militer di Tapanuli menjadi lima wilayah. Mayor Bejo memimpin sektor Tapanuli Selatan, Mayor Malau di Tapanuli Utara, Mayor Selamat Ginting di Dairi, Kapten O. Sarumpaet di Sibolga, dan Mayor Husein Lubis di pesisir Sibolga.

Selain membagi wilayah operasi, aturan ketat diberlakukan agar tiap pasukan tidak melintasi batas sektor tanpa izin. Jika terpaksa melintas, pasukan dilarang membawa senjata. Kebijakan ini berhasil meredakan ketegangan serta mencegah bentrokan susulan antar pasukan yang selama ini mudah tersulut provokasi.

Langkah cepat Bung Hatta membuahkan hasil. Malau dan Bejo akhirnya menerima keputusan tersebut melalui perantaraan Residen Lumbantobing. Bahkan, pasukan ALRI di pantai Sibolga dan kepolisian setempat pun tunduk kepada komando Kawilarang sebagai Panglima Sumatra Utara yang baru diangkat.

Hatta kemudian menegaskan bahwa keputusan itu harus segera dijalankan tanpa pengecualian. Ia meminta Kawilarang menjalankan tugas sebaik-baiknya demi keamanan Tapanuli dan kesatuan republik. Setelah semua pihak sepakat, ketegangan di Tapanuli perlahan mereda dan suasana kembali terkendali.

Dengan berakhirnya konflik tersebut, Bung Hatta berhasil mencegah pecahnya perang saudara lebih luas yang bisa berujung pada perpecahan Sumatra. Ia juga mematikan upaya segelintir kelompok yang ingin mendirikan negara "Batak Raya" dengan memanfaatkan kekacauan politik dan militer. Baca di sini

Sejarah mencatat peran strategis Bung Hatta sebagai negosiator ulung dan pemimpin yang mengutamakan persatuan. Ia tidak hanya menjadi penentu di medan diplomasi internasional, tapi juga mampu menyelesaikan konflik internal yang nyaris merusak fondasi republik yang baru berdiri.

Peristiwa itu menjadi pengingat bahwa di masa revolusi, ancaman terhadap kemerdekaan tidak selalu datang dari luar. Sering kali justru muncul dari dalam, akibat ego sektoral, ambisi kekuasaan, dan provokasi politik. Tanpa ketegasan Hatta, situasi Tapanuli mungkin akan menjadi luka sejarah yang lebih dalam.

Kesuksesan Hatta meredam konflik Bejo-Malau juga memberi pelajaran penting bagi sejarah militer Indonesia tentang pentingnya penataan komando, pembagian sektor yang tegas, dan disiplin tempur di medan gerilya. Kawilarang pun menjadi salah satu figur militer yang namanya harum karena ketegasan dan keberhasilannya menjalankan misi genting itu.

Sejak saat itu, sentimen negara Batak Raya yang sempat mencuat ikut meredup. Dukungan rakyat Tapanuli terhadap republik kembali menguat, dan wilayah itu berperan penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan di Sumatra Barat dan sekitarnya. Bung Hatta pun dikenal sebagai negarawan yang bukan hanya piawai di meja perundingan, tapi juga tangkas di medan konflik.

Informasi lain mengenai 'Batak Raya'

Fakta Sejarah dan Spirit Baru Perjuangan Provinsi Tapanuli


Ada fakta dan data sejarah yang selama ini terkesan luput dari publik atau memang didiamkan banyak pihak, bahwa Tapanuli yang harusnya bisa langsung menjadi daerah otonomi baru (DOB) sebagai provinsi baru atau sendiri pada 1956 bersamaan dengan pembentukan Provinsi Aceh, bahwa Tapanuli malah pernah akan dijadikan 'negara' sendiri dengan nama Negara Tapanuli atau Negara Batak Raya.

Pemerhati sejarah dari kalangan praktisi pendidikan dan kebudayaan di Sumut, Drs Masti Pencawan, menyebutkan Tapanuli harusnya sudah menjadi provinsi tidak semata-mata sebagai apresiasi dan kesetaraan politik seperti Aceh yang semula sebagai sesama Residen bersama-sama Tapanuli dalam wilayah Sumatera Utara, tetapi juga sekaligus sebagai kompensasi kesetiaan pada NKRI yang dulunya serta-merta menolak dijadikan sebagai negara baru dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Kesetiaan warga Batak Tapanuli yang ketika itu menolak spontan untuk digiring ke dalam bentukan negara sendiri berpangkal pada prinsip persatuan yang dibina Raja Sisingamangaraja untuk kesetiaan pada NKRI. Tapanuli itu harusnya sudah menjadi provinsi dengan urgensi alasan sebagai kompensasi kesetiaan pada negara (NKRI) atau apresiasi kesetaraan untuk memperoleh hak politik yang sama sebagai DOB pasca statusnya sebagai Residen Tapanuli bersama-sama Residen Aceh dulunya," ujar Masti Pencawan kepada SIB di ruang kerjanya, kantor Yayasan Pendidikan Kejuruan Pariwisata Pencawan (YPK-PP) Jalan Bunga Ncole Medan Selayang, Kamis (4/2).

Bersama ketua harian YPKP Pencawan Medan, Sariaty Tarigan, dia memaparkan itu dalam wawancara khusus ketika mengundang wartawan SIB untuk berbincang tentang berbagai hal terkait politik, sejarah, budaya, pariwisata dan juga masalah narkoba yang semakin marak di negeri ini termasuk di Sumut sendiri.

Secara khusus, sembari menunjukkan beberapa fakta dan data berupa artikel dan buku sejarah, dia mengapresiasi jajaran pihak media SIB yang dinilai masih terus peduli dan konsisten mendukung perjuangan dan gerakan pembentukan Provinsi Tapanuli.

Dengan menunjukkan buku berjudul 'Sumatera dalam Perang Kemerdekaan dan Perlawanan Rakyat Semesta' karya Edi Syahputra (1987) dan juga buku sejarah berjudul 'Melanchton Siregar Pendidik dan Pejuang', dia memaparkan adanya upaya Belanda (1948 di masa agresi militer II) hendak mendirikan semacam negara untuk Tapanuli, terutama daerah-daerah perkotaan dan sepanjang jalan raya. Para tokoh Batak Tapanuli dari Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan ketika itu dikumpulkan oleh Belanda untuk berdialog dalam satu pertemuan di Padangsidimpuan.

Data dan fakta sejarah ini tampak sama dengan paparan histori Prof. Walter Bonar Sijabat dalam bukunya 'Ahu Sisingamangaraja' halaman 80, bahwa Belanda sempat mendirikan Negara Batak Raya dan Negara Sumatera Timur.

"Belanda mendirikan Negara Batak Raya 1948-1949 dan Negara Sumatera Timur 1948-1950, yang artinya berlangsung di masa Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949. Tapi sikap orang Batak untuk setia pada Negara Kesatuan dan Persatuan atas dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, ternyata lebih kuat dibanding adanya kesempatan menjadi negara sendiri ketika itu, terlepas dari upaya atau gerakan itu dulunya digagasi oleh pihak Belanda. Tapi secara sosio-kultur, sikap ini mirip dengan kisah Kolonel Maludin Simbolon yang menyatakan tetap setia kepada Presiden Soekarno walau didepak keluar dari teritorialnya (Sumut) ketika menjabat Panglima TT-I/BB, yang ketika itu dituduh sebagai penghianat dan pemberontak. Dalam kesempatan ini saya tegas mengungkap sejarah bahwa Maludin Simbolon sesungguhnya bukanlah pemberontak di masa PRRI," ujar Masti sembari menambahkan pihaknya sedang menyiapkan forum pelurusan sejarah tentang 'Panglima Simbolon' bukan pemberontak tetapi panglima pro-rakyat, dalam waktu dekat ini.

SHARE

About peace

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Terbaru