‎Agama, Partai, Aliran Filsafat? Alternatif Membaca Masa Lalu

‎Kebingungan dalam memahami identitas keagamaan tokoh-tokoh sejarah sering kali muncul karena perbedaan cara pandang antara masa lalu dan masa kini. Apa yang kini kita definisikan sebagai “agama” belum tentu sama konsepnya dengan cara orang zaman dahulu memahami keyakinan, spiritualitas, dan afiliasi politik. Salah satu contohnya adalah Raja Rajendra Chola, yang dikenal sebagai pemimpin yang mendukung Shavisme, sebuah aliran pemujaan Dewa Siwa. Namun, menyebutnya sebagai “Hindu” bisa jadi anakronistik, sebab istilah dan sistem agama Hindu baru terbentuk dalam bentuk yang kita kenal sekarang beberapa abad kemudian.
‎Dalam teks klasik Melayu seperti Sulalatus Salatin, kadang muncul penafsiran bahwa tokoh seperti Rajendra Chola memiliki pandangan tauhid atau ketuhanan yang Esa, yang membuat beberapa sejarawan atau pembaca modern menduga bahwa ada pengaruh Islam atau nilai-nilai tauhid dalam kepemimpinannya. Ini bukan sesuatu yang mustahil, sebab di banyak kerajaan kuno, konsep ketuhanan bisa bersifat universal dan terbuka untuk banyak interpretasi.
‎Masalah muncul ketika tafsir masa kini memaksa kerangka agama modern terhadap tokoh-tokoh masa lalu. Jika kita bayangkan sebuah organisasi modern seperti partai politik memiliki nilai-nilai keagamaan, lalu ratusan tahun kemudian berubah menjadi agama, maka tokoh yang dulu tergabung dalam organisasi itu bisa saja dianggap penganut agama tersebut. Padahal waktu itu, konteksnya mungkin murni politis atau sosial.
‎Begitu pula dalam kasus Meurah Silu, pendiri Kesultanan Samudera Pasai. Sering disebut bahwa ia baru “masuk Islam” menjelang penobatannya sebagai sultan. Namun, nama-nama anggota keluarganya sudah jelas Islami. Maka perlu dipertanyakan apakah “masuk Islam” di sini merujuk pada perubahan mazhab, misalnya dari Syiah ke Sunni, atau dari tarekat tertentu ke tarekat lain yang dianggap sah menurut ulama waktu itu.
‎Dalam sejarah Aceh, muncul fatwa-fatwa tajam dari tokoh seperti Syekh Nuruddin Ar-Raniry, yang kadang menganggap penganut tarekat tertentu atau pengikut tasawuf ekstrem sebagai sesat. Oleh karena itu, perpindahan dari satu tarekat ke tarekat lain bahkan bisa dicatat sebagai “masuk Islam”, meskipun secara formal orang itu sudah Muslim sejak lama.
‎Fenomena yang sama terjadi di Mandailing Riau. Sebuah tarombo atau silsilah menyebut bahwa leluhur dari Iskandar Muda baru masuk Islam, padahal bukti-bukti menunjukkan bahwa keluarga besar itu sudah beragama Islam. Lagi-lagi, makna “masuk Islam” di situ bisa merujuk pada perubahan afiliasi tarekat, pandangan mazhab, atau mungkin pengesahan oleh kekuasaan tertentu yang saat itu dominan.
‎Contoh lainnya adalah Adityawarman, tokoh besar dari Minangkabau yang disebut-sebut sebagai penganut Buddha. Namun, dari silsilah ibunya yang berasal dari Melayu Dharmasraya, muncul dugaan bahwa dia sejatinya beragama Islam atau setidaknya memiliki pengetahuan tentang Islam. Bisa jadi ia menjalankan peran politik sebagai Buddhis dalam lingkungan istana, tapi secara pribadi menjalankan Islam.
‎Hal ini sebanding dengan bagaimana Islam dan Buddhisme tidak selalu eksklusif di masa lalu. Dalam konteks yang lebih terbuka, seseorang bisa berdoa dalam gaya Buddhis, tapi tetap bertauhid dalam hati. Konsep agama belum diikat dalam kategori formal seperti sekarang, yang membuat seseorang harus memilih satu identitas tunggal.
‎Ayutthaya, Kamboja, dan Champa juga menunjukkan pola serupa. Di kerajaan-kerajaan ini, raja-raja kerap memadukan praktik spiritual dari Hindu, Buddha, dan kemudian Islam, tergantung pada konteks politik, pernikahan, atau aliansi dagang. Seorang raja bisa membangun vihara, menyumbang ke masjid, dan tetap menjadi simbol keagamaan bagi semua kelompok.
‎Di Vietnam selatan atau Champa, misalnya, para raja Muslim tetap menjaga praktik lokal yang bercampur dengan tradisi Hindu dan Buddha. Namun dalam catatan Tiongkok dan Portugis, mereka tetap disebut “raja Islam”, karena mengadopsi simbol dan hukum syariah dalam struktur negara.
‎Fenomena ini menunjukkan bahwa istilah seperti "sinkretisme" sering kali tak cukup untuk menjelaskan kompleksitas keagamaan masa lalu. Sinkretisme seolah menyiratkan pencampuran tak murni, padahal bisa jadi justru itu adalah bentuk asli keberagamaan yang inklusif di masa tersebut.
‎Sebagian besar tokoh-tokoh kerajaan Asia Tenggara bukanlah penganut “agama” dalam pengertian kita hari ini. Mereka lebih seperti pemimpin partai besar, yang mewadahi berbagai unsur keyakinan dan tradisi demi kepentingan persatuan dan stabilitas kekuasaan.
‎Oleh karena itu, kita perlu lebih hati-hati membaca sumber-sumber sejarah. Tidak semua pernyataan “masuk Islam” atau “penganut Buddha” harus diterjemahkan secara literal ke dalam kategori agama modern. Konteks sosiopolitik dan tafsir lokal sangat penting dalam menentukan makna sejati istilah-istilah itu.
‎Jika tidak hati-hati, kita bisa terjebak pada anakronisme. Kita akan memaksakan label agama kepada orang-orang masa lalu yang mungkin tak pernah merasa menjadi penganut agama yang kita maksudkan, padahal dia Muslim. Ini bukan hanya kesalahan sejarah, tapi juga bentuk penyempitan cara pandang terhadap masa lalu.
‎Akhirnya, membaca sejarah keagamaan adalah soal membuka ruang tafsir, bukan mempersempitnya. Di antara keyakinan, kekuasaan, dan budaya, ada wilayah abu-abu yang luas, tempat para tokoh besar Asia Tenggara menjalankan peran ganda mereka sebagai pemimpin spiritual sekaligus politisi yang cerdik.
‎Baca selanjutnya:
‎1. Pendapat tentang Hindu dan Buddha Dulunya 'Bukan Agama'
‎https://www.facebook.com/share/p/14F3B7TyD2u/
‎ https://www.facebook.com/share/p/19SD5qbjrn/
‎ https://www.facebook.com/share/p/1RbYx4E1wx/
‎https://www.facebook.com/share/p/1FgjHsHv8c/
‎2. Pelayaran Arab ke Nusantara
‎https://www.facebook.com/share/p/1EnwgnNg1V/
‎3. Chola dalam Sulalatus Salatin
‎https://www.facebook.com/share/r/16oUzuDzB8/
‎https://www.facebook.com/share/p/16m28tuWMF/

SHARE

About peace

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar

Terbaru