Jejak sejarah Islam di Sumatra tak lepas dari istilah dan gelar-gelar lama yang pernah hidup dalam masyarakat. Salah satu gelar keagamaan yang cukup populer di kawasan pesisir barat Sumatra hingga pedalaman Batak adalah Malim. Gelar ini sejak lama digunakan untuk menyebut orang alim, ulama, atau tokoh agama Islam yang dihormati masyarakat.
Di Aceh, gelar Malim dikenal dalam berbagai variasi. Seorang ulama yang berasal dari luar daerah disebut Malem Dagang, sementara seorang syekh lokal yang menjadi guru spiritual dipanggil Malem Hasan atau Malem Pahlawan. Gelar ini mengandung makna mulia karena disematkan kepada mereka yang ahli dalam ilmu agama dan dianggap menjadi perantara ajaran Islam di tengah masyarakat.
Gelar Malim juga ditemukan dalam catatan tua Barus, pelabuhan tua di pesisir barat Sumatra yang sejak abad ke-9 dikenal sebagai pusat perdagangan rempah dan dakwah Islam. Sejumlah batu nisan tua abad ke-14 hingga ke-16 mencatat nama-nama orang saleh dengan gelar Malim. Contohnya, “Di sinilah makam Malim Syekh Abdullah Barus, wafat 1462 M” menjadi bukti bahwa gelar ini telah dipakai jauh sebelum kolonial Eropa masuk Nusantara.
Ketika Islam mulai menyebar ke pedalaman Mandailing, Angkola, dan Toba, gelar Malim tetap digunakan. Di wilayah ini, seorang alim ulama yang dipercaya masyarakat diberi gelar Malim untuk membedakannya dari bangsawan adat. Bahkan di beberapa tarombo Mandailing, tercatat nama tokoh seperti Malim Leman Hasibuan atau Malim Sutan Harahap, yang memegang peranan penting dalam dakwah Islam di pedalaman.
Dalam tata bahasa Batak, awalan Par- memiliki arti orang yang melakukan atau pelaku suatu aktivitas. Maka istilah Parmalim berarti orang-orang Malim, atau komunitas orang alim, yakni jamaah orang saleh yang menjalankan syariat agama. Di Mandailing dan Angkola, istilah ini dikenal sebagai sebutan untuk komunitas Muslim yang istiqamah dalam ibadah dan tata nilai adat.
Seiring waktu, istilah Parmalim di wilayah Toba mengalami pergeseran makna akibat kebijakan politik kolonial. Setelah Belanda berhasil menguasai Bakkara dan membunuh Sisingamangaraja XII pada 1907, Belanda bersama zending Jerman berupaya memutuskan pengaruh Islam di Toba. Salah satunya dengan memisahkan Parmalim dari Islam formal dan menetapkannya sebagai agama adat.
Padahal, dalam praktiknya, banyak ajaran Parmalim yang memiliki unsur syariat Islam. Mulai dari larangan makan babi dan anjing, kewajiban menyembelih hewan dengan doa khusus, hingga aturan bersuci sebelum ibadah. Selain itu, tradisi doa menghadap ke barat jelas merupakan warisan dari ajaran Islam yang mengharuskan kiblat ke Ka’bah di Makkah.
Sejumlah sejarawan Batak Toba dan Mandailing meyakini bahwa Parmalim sejatinya adalah komunitas Islam adat Batak yang secara paksa dipisahkan dari Islam formal demi kepentingan politik kolonial. Belanda khawatir, jika Islam berkembang di Toba, akan muncul perlawanan seperti di Aceh dan Minangkabau yang kala itu sudah melakukan jihad melawan kolonial.
Gelar Malim sendiri tetap lestari dalam tradisi masyarakat Batak Islam hingga kini. Di beberapa daerah Mandailing dan Barus, masih ditemukan keturunan ulama yang menyandang gelar kehormatan Malim di depan namanya. Meski begitu, di Toba istilah ini kemudian terasosiasi dengan agama adat setelah melalui manipulasi sejarah di masa kolonial.
Bukti lain yang memperkuat hubungan Parmalim dengan Islam adalah kisah-kisah tarombo atau silsilah Batak yang menyebut beberapa marga seperti Hasibuan, Nasution, dan Harahap telah memeluk Islam sejak abad ke-16. Bahkan sebagian pemuka Parmalim yang dicatat Belanda berasal dari marga-marga yang di daerah lain sudah lama memeluk Islam.
Dalam buku kontroversial Tuanku Rao karya Mangaradja Onggang Parlindungan disebutkan bahwa Islam sempat berkembang kuat di wilayah Toba sebelum masuknya zending. Ia mencatat bahwa gelar Malim di kalangan Batak merupakan istilah untuk ulama dan orang alim. Buku ini menyoroti adanya distorsi sejarah yang dilakukan Belanda dan zending untuk membatasi penyebaran Islam di Batak Toba.
Beberapa antropolog modern seperti Anthony Reid dan Denys Lombard pun mengakui adanya jejak Islam yang kuat di Barus dan Mandailing. Namun mereka menyebut penyebarannya ke wilayah Toba terhambat oleh kondisi geografis dan ketegangan politik antar kerajaan Batak. Kolonial Belanda lalu memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat misi Kristen.
Dalam catatan Belanda, Parmalim mulai diresmikan sebagai agama adat Batak setelah 1912. Sejak itu, gelar Malim pun perlahan lepas dari asosiasi Islam. Masyarakat Parmalim tetap memelihara tradisi lama, namun tidak lagi diperkenankan mengikuti syariat Islam formal. Sementara istilah Malim di wilayah Islam Sumatra tetap menjadi gelar kehormatan ulama hingga kini.
Hingga kini, sejarah gelar Malim masih menjadi bahan perdebatan di kalangan sejarawan Batak dan Nusantara. Sebagian meyakini bahwa Parmalim adalah jejak komunitas Muslim adat Batak. Sementara di kalangan akademisi Eropa, Parmalim tetap dikategorikan sebagai kepercayaan animistik yang mendapat pengaruh Islam.
Namun di Mandailing, Angkola, dan Barus, tak ada keraguan soal makna gelar Malim. Istilah itu sejak dahulu berarti ulama, tokoh agama, dan orang alim Islam. Bahkan sampai saat ini, sebagian keturunan Hasibuan dan Nasution masih menyebut ulama tua mereka sebagai Malim Leman, Malim Rahim, atau Malim Pahlawan.
Keberadaan istilah ini menjadi bukti kuat bahwa Islam telah lebih dulu berakar di Sumatra sebelum masa kolonial. Perjalanan sejarah gelar Malim dan komunitas Parmalim di Toba menjadi cermin bagaimana politik kolonial mengubah struktur keagamaan demi kepentingan kekuasaan.
Sejarawan menyebut pentingnya menggali ulang naskah-naskah lokal, tarombo Batak, serta batu nisan tua di Barus dan pesisir Sumatra. Semua itu dapat mengungkap kembali sejarah gelar Malim yang selama ini disamarkan oleh narasi kolonial dan zending.
Generasi muda Batak kini mulai tertarik mengkaji asal-usul Parmalim dan gelar Malim. Diskusi terbuka pun terus bermunculan, membahas kemungkinan adanya jejak Islam dalam kepercayaan adat Batak. Sejarah Malim adalah potongan penting dalam mozaik peradaban Islam di Sumatra yang layak ditelusuri lebih jauh.
Dibuat oleh AI, Baca selanjutnya
0 komentar:
Posting Komentar