Di dunia modern yang seolah dipetakan dengan batas negara yang diakui, kenyataan di lapangan sering kali tak seideal yang dicatat dalam peta resmi. Ada kecenderungan geopolitik di mana negara-negara berdaulat perlahan dipreteli kedaulatannya melalui embargo, intervensi militer, dan proyek politik kawasan. Negara yang semula merdeka dan utuh secara de jure, didorong untuk menjadi negara lemah atau bahkan dipecah menjadi proto-state, entitas semi-merdeka yang berada di bawah bayang-bayang kekuatan besar.
Kasus paling gamblang terlihat di Timur Tengah. Suriah, yang sejak masa kemerdekaannya dikenal sebagai negara kuat dengan kebijakan luar negeri tegas, harus menyaksikan wilayahnya terpotong-potong akibat intervensi asing. Pada 1967, Israel merebut Dataran Tinggi Golan dan sebagian wilayah Qunetra, dan hingga kini mempertahankannya dengan klaim sepihak. Wilayah yang seharusnya menjadi bagian integral Suriah itu perlahan diubah menjadi zona aman dan penyangga Israel, tanpa kejelasan kapan akan dikembalikan.
Agresi di Golan hanyalah awal dari proyek lebih besar yang sejak lama dikenal sebagai Greater Israel. Proyek ini diyakini melibatkan skenario jangka panjang untuk memperlemah negara-negara Arab di sekitar Israel, termasuk Yordania, Lebanon, Suriah, dan Palestina. Wilayah yang secara historis terhubung dalam geopolitik Levantine itu perlahan diacak-acak dengan cara yang tidak langsung. Bukan hanya dengan pendudukan militer, tetapi juga menciptakan zona-zona konflik, dukungan pada kelompok separatis, dan pengurangan kekuatan militer formal negara-negara tersebut.
Suriah mengalami puncak ujian kedaulatan sejak pecahnya perang saudara pada 2011. Sejumlah kelompok oposisi bersenjata yang didukung negara-negara asing muncul di berbagai wilayah. Amerika Serikat, Turki, dan Israel mengambil keuntungan dari situasi ini dengan membangun zona pengaruh di wilayah-wilayah tertentu. Kawasan utara Suriah bahkan diduduki militer Turki, sementara Israel secara berkala melakukan serangan udara ke wilayah Damaskus dan sekitarnya tanpa ada sanggahan berarti dari komunitas internasional.
Skenario yang sama terjadi di Irak, negara yang dulu menjadi salah satu pilar kekuatan Arab di bawah Saddam Hussein. Setelah invasi AS pada 2003, Irak tercerai-berai secara politik dan militer. Wilayah Kurdistan di utara beroperasi layaknya proto-state dengan pasukan militernya sendiri dan kontrol perbatasan. Di wilayah selatan dan barat, berbagai milisi lokal yang didukung negara-negara asing memperlemah otoritas Baghdad, membuat Irak nyaris tak bisa lagi disebut negara berdaulat utuh.
Iran pun menjadi target besar dalam proyek pengurangan kedaulatan ini. Meski secara militer masih kuat, Iran terus dihantam embargo ekonomi, serangan siber, dan operasi intelijen dari kekuatan asing, terutama Israel. Serangan ke fasilitas nuklir, pembunuhan ilmuwan, hingga sabotase sistem transportasi menjadi pola yang terus berulang. Skenario ini bertujuan menjadikan Iran negara lemah yang sibuk mengatasi ancaman internal dan tak mampu memainkan peran strategis di kawasan.
Upaya memproto-statekan Iran juga terjadi lewat dukungan kepada kelompok separatis di wilayah-wilayah perbatasan seperti Ahvaz, Balochistan, dan Kurdistan. Serangkaian serangan teroris dan gerakan separatis yang muncul di wilayah-wilayah tersebut sebagian besar diketahui mendapatkan sokongan dana dan logistik dari luar negeri. Jika skenario ini terus berjalan, dalam jangka panjang Iran bisa saja mengalami fragmentasi wilayah dan kekuatan sentralnya menurun.
Yaman adalah contoh lain di mana negara berdaulat dipecah secara de facto. Saat ini, Yaman terbagi menjadi wilayah yang dikuasai Houthi, pemerintah eksil yang didukung Saudi, milisi separatis di Aden, dan kekuatan suku di Hadramaut. Perang saudara yang berkepanjangan tidak hanya melemahkan pemerintahan pusat tetapi juga memunculkan proto-state yang saling bertikai. Situasi ini jelas menguntungkan negara-negara besar yang berkepentingan menjaga Laut Merah dan Teluk Aden tetap bisa diintervensi kapan saja.
Libya pasca-Gaddafi mengalami nasib serupa. Negara kaya minyak itu kini terbagi menjadi dua pemerintahan yang saling bermusuhan di Tripoli dan Benghazi, sementara di wilayah gurun dan selatan, kelompok bersenjata dan suku-suku lokal membentuk entitas politik kecil. Tak berbeda dengan Suriah dan Irak, Libya menjadi ladang subur bagi operasi militer asing dan perang proksi yang mengikis kedaulatan nasional.
Palestina pun sejak awal keberadaannya diposisikan sebagai proto-state yang tak kunjung mendapat kedaulatan penuh. Wilayah Gaza dikuasai Hamas, sementara Tepi Barat berada di bawah pengawasan ketat Israel dan Otoritas Palestina yang minim kuasa. Perpecahan ini memudahkan kontrol eksternal atas Palestina dan membuatnya sulit untuk bersatu sebagai negara utuh.
Jika dicermati, pola yang digunakan hampir serupa: embargo ekonomi, dukungan kepada kelompok separatis, pendudukan militer terbatas, dan intervensi politik terselubung. Semuanya bertujuan mengikis otoritas pusat dan menciptakan wilayah-wilayah otonom de facto yang bisa diperalat sebagai zona pengaruh kekuatan besar. Saat negara pusat melemah, intervensi asing lebih mudah dilakukan tanpa perlu deklarasi perang terbuka.
Fenomena ini bisa dilihat juga di wilayah Kaukasus dan Donbas, di mana Abkhazia, Ossetia Selatan, Lugansk, dan Donetsk muncul di tengah ketegangan geopolitik. Wilayah ini perlahan dijauhkan dari otoritas negara induknya melalui dukungan militer, diplomasi bayangan, dan propaganda separatis. Meski berbeda kawasan dan latar belakang politik, pola pengurangan kedaulatan ini menunjukkan karakter geopolitik baru abad ke-21.
Dalam kasus Timur Tengah, ancaman paling serius datang dari proyek Greater Israel yang diyakini tak sekadar soal penguasaan wilayah geografis, tapi juga upaya menciptakan tatanan politik baru. Negara-negara Arab yang kuat secara militer dan politik seperti Suriah, Irak, Iran, dan Mesir diposisikan agar sibuk menghadapi ancaman internal, perang saudara, atau konflik sektarian.
Kelemahan negara-negara besar Arab dimanfaatkan untuk memperluas kontrol wilayah dan geopolitik. Invasi Israel ke Suriah, serangan ke fasilitas Iran, dan operasi intelijen di Lebanon bukan hanya soal kepentingan keamanan, tapi bagian dari skenario panjang mengendalikan kawasan melalui fragmentasi politik. Ketika negara pusat lemah, kontrol terhadap wilayah dan sumber daya jadi lebih mudah dilakukan.
Keterlibatan kekuatan Barat dalam skenario ini juga tak bisa dipungkiri. AS, Inggris, dan Prancis secara rutin memberikan dukungan logistik, senjata, dan operasi khusus kepada kelompok-kelompok separatis atau milisi lokal yang berseberangan dengan pemerintahan pusat di negara-negara target. Hal ini diperkuat dengan embargo ekonomi yang dirancang untuk melemahkan stabilitas domestik dan memperburuk krisis kemanusiaan.
Salah satu ironi besar dari proyek semacam ini adalah digunakannya isu hak asasi manusia dan demokrasi sebagai alasan. Padahal kenyataannya, intervensi justru melahirkan negara-negara lemah, perang saudara berkepanjangan, dan meningkatnya kekerasan sektarian. Proto-state yang lahir di wilayah ini hampir selalu hidup di bawah bayang-bayang kekuatan asing.
Kini, tren memproto-state-kan negara merdeka diprediksi terus berlanjut. Kawasan seperti Afrika Barat, Asia Tengah, dan Asia Tenggara mulai menunjukkan gejala serupa. Negara-negara dengan pemerintahan lemah, konflik internal, dan posisi strategis dalam geopolitik global sangat rentan mengalami proses serupa. Tanpa proteksi kedaulatan dan solidaritas regional, proyek seperti ini hanya menunggu waktu untuk kembali berulang.
Fenomena ini menyadarkan dunia bahwa ancaman terhadap negara modern bukan hanya datang dalam bentuk perang terbuka, tetapi juga melalui fragmentasi politik yang didesain rapi. Jika terus dibiarkan, dunia bisa saja dipenuhi proto-state yang eksis di atas reruntuhan negara-negara berdaulat, dan tatanan internasional modern akan berubah menjadi sistem baru di mana kekuatan besar bermain di atas panggung negara-negara boneka.
0 komentar:
Posting Komentar