Meski Suriah sudah relatif aman, namun tantangan keamanan dari pendukung eks rejim Bashar Al Assad masih mewarnai kondisi di lapangan pasca Desember 2024.
Munculnya Militer Council for the Liberation of Syria (MCLS) menandai babak baru geopolitik, kali ini oleh bekas anggota militer lama yang berusaha merebut kembali pengaruh mereka. Sejumlah organisasi pro Assad juga terdapat di Quneitra yang menjadi alasan invasi oleh Israel dan sejumlah tempat di Timur dan Selatan Suriah.
Faksi ini dibentuk pada 6 Maret 2025 oleh Brigadir Jenderal Ghiath Suleiman Dalla, mantan perwira SAAF, bersama sejumlah loyalis bekas rezim Assad. Mereka berpusat di wilayah Latakia dan Tartus, mengklaim ingin “membebaskan semua wilayah Suriah” dari pemerintahan transisi yang dipimpin Presiden Ahmed Al Sharaa.
Sejak pembentukannya, kelompok tersebut langsung meluncurkan serangan ke markas keamanan dan pangkalan militer di Latakia dan Jableh. Menurut laporan, dalam satu konflik saja puluhan pasukan keamanan tewas , mengindikasikan kekuatan dan kesiapan mereka bertempur kembali.
Konflik berskala kecil namun berdampak besar muncul di wilayah pesisir. Sejak 6 Maret, bentrokan yang dikenal sebagai “bentrokan di Barat Suriah” berlangsung sengit antara faksi MCLS dengan pasukan pemerintah transisi, menewaskan puluhan personel keamanan serta warga sipil.
Dukungan Iran dan Rusia pun disebut masuk ke dalam konflik ini. Sebagian pihak menyebut MCLS mendapat sokongan dana dan strategi, walaupun tidak ada pengakuan resmi dari Tehran san Moscow. Hubungan yang kian membingkai perang proxy regional ini semakin kompleks.
Kelompok militan pro-Assad lainnya, Syrian Popular Resistance (SPR), dibentuk pada Desember 2024 dan telah menegaskan niatnya melawan pemerintah, tentara Israel, Amerika Serikat, dan NATO. Mereka aktif menyebarkan narasi sektarian dan menggalang dana melalui cryptocurrency seperti Bitcoin dan Ethereum.
Sumber dana digital ini menunjukkan adapun strategi modern pemberontakan dalam kondisi isolasi global dan sanksi berat. Namun, penggunaan kripto juga menimbulkan tantangan legal dan keamanan baru di wilayah yang tidak stabil.
Situasi di wilayah pesisir telah mengarah ke kekerasan sektarian intens. Komunitas Alawit, pendukung lama Assad berusaha membuat keseimbangan baru paska perubahan politik. Beberapa organisasi memperingatkan potensi gangguan keamanan dan separatisme sejak kelahiran konflik baru MCLS.
Dalam reaksi balik, beberapa pemimpin Alawit dan tokoh militer pro-Assad mulai membentuk semacam “cadangan militer”. Mereka menyiapkan diri memproklamasikan provinsi Alawit merdeka jika dibutuhkan, menandai kemungkinan pecahnya Suriah berdasarkan garis sektarian.
Reaksi pemerintah transisi Suriah terhadap pemberontakan ini tegas. Mereka menggambarkan kelompok seperti MCLS sebagai bagian dari “kampanye psikologis” yang dipakai untuk merusak tatanan baru dan memicu chaos.
Beberapa pejabat transisi juga menargetkan mantan perwira intelijen Assad. Brigadir Daas Hassan Ali, misalnya, ditangkap karena diduga memberikan dukungan logistik kepada MCLS. Langkah ini adalah bagian dari upaya membersihkan sisa-sisa rezim terdahulu.
Sementara itu, penangkapan Wassim al-Assad, sepupu mantan presiden Bashar, pada 21 Juni 2025 oleh aparat keamanan baru menandai komitmen pemerintah transisi untuk mengadili figur-figur penting dari bekas rezim.
Wassim diketahui terlibat jaringan narkoba Captagon dan kelompok paramiliter pro-Assad yang dibekingi militer. Penangkapannya menunjukkan langkah tegas yang diambil untuk memastikan tidak ada faksi bayangan yang terus beroperasi di bawah pengaruh lama Assad .
Namun persepsi publik tentang penindakan ini terbagi. Sementara kelompok minoritas Alawit menunggu adanya proses keadilan transisi, masyarakat luas khawatir pembalasan sektarian hanya memperdalam luka perang.
Dalam deklaratifnya bulan Maret, MCLS menyerukan pembebasan Suriah dari “pendudukan teroris” dan membubarkan struktur sektarian pemerintahan transisi. Kalimat ini menggambarkan konflik ideologis yang masih jauh dari selesai.
Konflik ini juga menjadi ujian bagi otoritas transisi Damaskus, yang sedang dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum. Bentrokan baru dan perselisihan sektarian yang diatur intelijen asing di belakang layar berpotensi melemahkan legitimasi pemerintahan baru Suriah di mata masyarakat dan internasional.
Komunitas internasional, termasuk Turki dan negara Barat, mulai mengamati perkembangan ini. Beberapa negara barat menunda keputusan suaka dan relokasi warga Suriah karena situasi yang kadang masih mengalami gangguan.
Sementara itu, masa depan politik Suriah sedang dalam proses rekonsiliasi. Reformasi institusi dan jaminan keamanan tidak bisa berjalan sementara faksi pro-Assad bersenjata kembali aktif dan menolak meletakkan senjata.
Di tengah dinamika ini, harapan rakyat Suriah untuk pemulihan hidup tetap ada. Namun, situasi politik yang fluktuatif menjadi realita rumit yang mempersulit upaya rekonsiliasi dan rekonstruksi.
Hingga awal musim panas 2025, belum ada tanda-tanda pelonggaran konflik. Beberapa insiden masih terjadi yang merusak perbaikan keamanan Suriah jelang pemilu.
Kondisi ini memperjelas bahwa kejatuhan rezim Assad bukan akhir perang. Sebaliknya, ia menjadi pembuka babak baru berbagai dinamika keamanan dan geopolitik di Suriah pasca-Asad.
0 komentar:
Posting Komentar