Singkil dan Barus

ilustrasi
ACEH HEBAT -- Pada tanggal 12 Februari 1681, Belanda menyodorkan surat perjanjian baru kepada para penguasa daerah di Singkil. Pihak Belanda diwakili oleh Jan Vaan Leene dan Aren Silvius. Sedangkan raja-raja Singkil yang dipaksa menandatangani perjanjian baru tersebut di antaranya yaitu : Raja Indra Mulia (penguasa wilayah kanan sungai), Mashoera Diraja (penguasa wilayah kiri sungai), Raja Setia Bakti, Penghulu Siking Tousian, Penghulu Banti Panjang Tonsidin, Penghulu Batu-Batu, Penghulu Perbentjein, Penghulu Kota Baru, Pang Hitam. Adapun yang menjadi saksi perjanjian tersebut adalah utusan dari Kerajaan Barus.

Hamzah Fansuri, Pemantik Peradaban Aceh

Tak banyak sejarah yang menukil seorang maestro peradaban yang tidak hanya dikenal di timur tapi juga di Barat. Dia Hamzah Fansuri, ulama yang pujangga nusantara. Dalam karya-karyanya ditemukan kunci peradaban satu kaum (Aceh). Di Malaysia, sastra menjadi tumpuan kaki peradaban Melayu, sehingga pujangga ditempatkan di atas para intelektual. Jika kita simak  satu lagu Aceh yang sering dinyanyikan oleh Rafly (penyanyi/penyair Aceh), maka kita tidak akan bisa melupakan syair berikut.


//Wahai muda kenali dirimu/ ialah, perahu tamsil tubuhmu

tiadalah berapa lama hidupmu/ ke akhirat jua kekal diammu

Hai muda arif budiman/ hasilkan kemudi dengan pedoman

alat perahumu jua kerjakan/ itulah jalan membetuli insane

Wujud Allah nama perahunya/ ilmu Allah akan kurungnya

iman Allah nama kemudinya/ yakin akan Allah nama pawangnya

Tuntuti ilmu jangan kepalang/ di dalam kubur terbaring seorang

Munkar wa Nakir ke sana datang/ menanyakan jikalau ada engkau sembahyang

Munkar wa Nakir bukan kepalang/ suaranya merdu bertambah garang

tongkatnya besar terlalu panjang/ cabuknya banyak tiada terbilang.

Kenal dirimu hai anak Adam/ tatkala di dunia terangnya alam

sekarang di kubur tempatmu kelam/ tiadalah berbeda siang dan malam//

(Syair Perahu Hamzah Fansuri)

Bait syair itu tak asing di telinga orang Aceh lewat lagu Rafli Kande. Itulah syair karya pujangga besar Hamzah Fansuri; seorang ulama sufi terkenal pada masa pemerintahan Sultan Iskanda Muda. Syair itu menegaskan maqam spiritual sufistik seorang Hamzah Fansuri yang dituangkan di dalam untain syair yang amat indah dan bernas.

Harus diakui, walaupun di Aceh saat ini tidak satupun ahli mengenai pemikiran Hamzah Fansuri, namun karya-karnya bukan hanya dikenang pada zamannya tetapi terus menjadi bahan kajian para ilmuansampai saat ini. Dalam sejarah peradaban Asia, nama Hamzah Fansuri masuk ke dalam pemikir garda depan yang tidak hanya berhasil di dalam dunia tasawwuf, tetapi juga di dalam dunia sastra. Maka tak perlu kaget ketika Prof Dr. Naguib Alatas dalam bukunya  “The Mysticcism of Hamzah Fansuri” mengatakan  bahwa Hamzah Fansuri adalah Pujangga Melayu terbesar dalam abad XVII, penyair Sufi yang tidak ada taranya pada zaman itu.

Hamzah Fansuri adalah “Jalaluddin Rumi”-nya kepulauan Nusantara. Bahkan, menurut Naguib, Hamzah Fansuri adalah pencipta bentuk pantun pertama dalam bahasa Melayu. Sayang, syair Hamzah Fansuri tidak dimasukkan di dalam dunia pendidikan Aceh, sehingga, sosok Hamzah Fansuri kemudian “ditarik” pada akar budaya Melayu, bukan Aceh. Hal ini selain karena generasi Aceh tidak paham akan persoalan akar budaya sendiri.

Di beberapa negara Muslim, sang pujangga selalu dikenal dengan kewibawaan dan kebijaksanaan akan ilmu agama. Jalaluddin Rumi melalui Mathnawi telah berhasil memberikan kontribusi terhadap bagaimana tasawwuf bisa bersilaturrahmi dengan sastra. Lalu, Ikhwan al-Safa, juga telah berhasil memberikan pemikiran tasawwuf yang sampai sekarang masih dikaji dan diteliti. Ini bedanya dengan masyarakat Aceh, pemikiran ulama tasawwuf  masih belum begitu penting. Belum lagi jika kita buka bagaimana karya-karya Ibnu ‘Arabi yang nasihat-nasihat sufistiknya penuh dengan ragam sastrawi.

Hamzah Fansuri, masih menurut Al-Attas, punya jasa besar dalam memajukan bahasa Melayu. Pengaruhnya luar biasa di kalangan cendikiawan Melayu, namun cukup sedikit kontribusinya dipelajari di Aceh. Bahasa Melayu sebagai linguafranka yang dijadikan bahasa nasional Indonesia, sebenarnya dipelopori pujangga Melayu seperti Hamzah Fansuri. Setidaknya unsure serapan yang kini digunakan. Hal ini karena pengetahuannya yang luas dalam bahasa Arab dan Persia. Dengan sendirinya, ia pun membawa pula pembaharuan di bidang logika atau ilmu mantiq. Lagi-lagi, setelah Naquib yang pernah menjadi Direktur ISTAC di Malaysia, tidak ada lagi generasi Melayu yang berhasil menemukan keaslian pemikiran Hamzah.

Dapat dikatakan dengan semangat pemikiran Hamzah lah, Naquib membangun suatu pusat peradaban Islam di Malaysia yang sudah banyak sekali alumninya, termasuk di Indonesia. Menurut sejarah, pada masa Sulthan Alaiddin Riayat Syah Saidil Mukammil 1589 – 1604 M.), terdapat dua orang ulama keturunan Syekh Al Fansuri mendirikan dua Pusat Pendidikan Islam di pantai barat Tanah Kerajaan Aceh Darussalam, wilayah Singkil.

Ali Al Fansuri mendirikan Dayah Lipat Kajang di Simpang Kanan. Adapun adiknya, Hamzah, mendirikan Dayah Oboh di Simpang Kiri Rundeng pada tahun 1592 M. Syekh Ali H Fansuri dikurniai seorang putera dan diberi nama Abdurrauf. Ulama inilah  yang kemudian menjadi seorang Ulama Besar yaitu  Syekh Abdurrauf Alfansuri Asshingkili atau Teungku Syiahkuala yang kuburannya terdapat di Kecamatan Syiah Kuala saat ini.

Teka-teki Hamzah

Mengenai kelahiran Syeikh Hamzah Fansuri sampai sekarang masih merupakan teka-teki. Demikian juga tahun kapan ia meninggal tak diketahui secara pasti. Namun beliau menjadi ulama yang sangat berpengaruh  pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Tuduhan Nuruddin Arraniri bahwa Hamzah Fansuri telah menempuh jalan yang sesat (zindiq), ternyata keliru. Dalam sajak-sajaknya sendiri Hamzah Fansuri malah mengecam para sufi palsu atau pengikut-pengikutnya yang telah menyelewengkan ajaran tasawuf yang sebenarnya. Kata Hamzah :

//Segala muda dan sopan/ Segala tuan berhuban/ Uzlatnya berbulan-bulan/ Mencari Tuhan ke dalam hutan/ Segala menjadi “sufi”/ Segala menjadi “shawqi” (=pencinta kepayang)/ Segala menjadi Ruhi (roh)/ Gusar dan masam di atas bumi (menolak dunia)//

Sebagaimana lazimnya “Penyair Sufi”, maka sajak-sajak Hamzah Fansuri penuh dengan rindu-dendam; rindu kepada Mahbubnya, Kekasihnya, Khaliqnya, Allah Yang Maha Esa. Karena itulah, maka “Karya Tulis” Hamzah Fansuri sukar dimengerti dan dipahami oleh orang yang tidak banyak membaca dan mendalami buah pikiran dan filsafat Ulama Tasauwuf/Penyair Sufi. Mungkin termasuk Ar-raniry tak mampu menjangkau Hamzah. Inilah kunci kenapa pemikiran tasawwuf sulit dipahami jika seseorang tidak mengalami pengalaman spiritual.

Karya Hamzah yang terkenal, antara lain pertama, Asraarul Arifiin Fi Bayani Ilmis Suluk wat-Tauhid, yang membahas masalah-masalah ilmu tauhid dan ilmu thariqat. Kedua, Syaraabul Asyiqin, yang membicarakan masalah-masalah thariqat, syariat, haqiqat dan makrifat. Ketiga,  Al Muntahi, yang membicarakan masalah-masalah tasauwuf. Keempat,  Rubah Hamzah Fansuri, syair sufi yang penuh butir-butir  filsafat. Kelima,  Syair Burung Unggas, juga sajak sufi yang dalam maksudnya.

Menurut Hamzah Fansuri, bahwa manusia yang telah menjadi “Insan Kamil” tidak ada lagi pembatas antara dia dan Mahbubnya. Ini pemikiran yang juga pernah berkembang di dalam Islam yaitu Mansur al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, dan di Indonesia juga pernah digulirkan oleh Syeikh Siti Jenar. Pada akhir pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Meukuta meninggal 27 Desember 1636 M. Syekh Hamzah Fansuri tokoh agung nusantara, ulama sangat dikenal di Asia Tenggara ini, walaupun di negerinya sendiri dilupakan, wafat di  Singkil, dekat kota kecil Rundeng. Beliau dimakamkan di Kampung Oboh Simpang Kiri Rundeng di Hulu Sungai Singkel Makamnya sangat dimuliakan.

Inilah sepenggal seorang maestro peradaban, ulama Aceh pengawal rantau asia yang telah menjadi milik dunia, namun tercecer dari catatan sejarah bangsa ini akibat hegemoni politik dan fitnah. Masih banyak misteri kehidupan Hamzah Fansuri yang belum terkuak, terutama kampong halamannya dan bagaimana akhir kehidupannya. Padahal pengaruh pemikirannya sedikit banyak telah mewarnai pemikiran keislaman di Nusantara. Akhirnya, saya berharap semangat intelektual Hamzah Fansuri ini perlu dibangkitkan dan dijadikan sebagai sebuah simbol kemegahan dunia Aceh. Karena Hamzah bagaimanapun adalah seorang pujangga yang tidak ada tandingannya.

(Catatan M Adli Abdullah)

Sumber : Serambi Indonesia



Kerajan Aceh Singkil

Kerajaan Aceh merasa terusik jika Belanda melebarkan sayap kekuasaannya di Sumatera, khususnya di daerah-daerah yang menjadi daerah taklukan Aceh, seperi di Sumatera Timur dan Sepanjang Pantai Barat Sumatera hingga ke Padang. Untuk mehambat arus ekspansi Belanda di Sumatera, Kerajaan Aceh berusaha melemahkan armada dagang Belanda. Cara-cara yang ditempuh yaitu dengan membiarkan para bajak laut melakukan perompakan dan perampasan kapal-kapal dagang Belanda yang lalu-lalang di Selat Malaka dan peraiaran pantai barat Aceh. Di samping itu, Kerajaan Aceh juga melakukan pengiriman armada perang dan Angkatan Lautnya yang dipimpin oleh Sidi Vara ke Pulau Poncan. Kapal-kapal perang yang dipersenjatai oleh Kerajaan Trumon tersebut diperintahkan untuk menyusup ke benteng Belanda di Fort Tapanuli. Mereka ditugaskan untuk menghancurkan persediaan senjata dan peralatan perang milik Belanda yang disimpan di gudang-gudang amunisi di benteng Poncan tersebut.

Penyerbuan kapal-kapal perang Aceh tersebut, kemudian mengilhami Belanda untuk menahan diri. Untuk mempertahankan diri dari Angkatan Laut Aceh, mereka membangun daerah barrier (daerah penyangga) antara wilayah kerajaan dengan wilayah kekuasaan Belanda. Selanjutnya untuk dapat mengembangkan daerah jajahannya pada tahun 1839, Belanda menempatkan satu skwadron kapal perang di Kerajaan Barus. Dan satu tahun kemudian (1840), Belanda juga menempatkan beberapa kapal perangnya di Singkil. Di samping itu melalui Residen Padang Mc Gillary, Belanda membuat perjanjian perdamaian dengan Kerajaan Trumon.

Tindakan Belanda tersebut membuat Sultan Ibrahim Mansursyah dari Kerajaan Aceh merasa dirugikan. Untuk menghadapinya, ia meminta bantuan pada Raja Louis Phillipe dari Perancis agar dapat menghentikan tindakan Belanda yang memperluas daerah kekuasaan di Pantai Barat Sumatera. Sebagai tindak lanjut dari permintaan Sultan Aceh tersebut, pada tahun 1843 Pemerintah Perancis mengirim armada kapal perang La Fortune yang dipimpin langsung oleh La Comte. Kedatangan kapal perang Perancis tersebut hanya untuk melindungi Kesultanan Aceh dari tekanan Belanda. Adapun kawasan Singkil dan daerah-daerah bekas wilayah kekuasaan Aceh yang lain tetap dibiarkan sebagai daerah perdikan (daerah yang berdiri sendiri).

Kekuasaan yang dilakukan VOC (Kompeni) Belanda di daerah-daerah Singkil belum dapat dinamakan penyelenggaraan pemerintahan umum. Kekuasaannya terutama terbatas pada penuntutan penyerahan wajib dari penguasa-penguasa daerah Singkil, mengangkat pegawai-pegawai ini dan itu serta mengawasi mereka dalam melakukan kewajiban-kewajibannya terhadap VOC (kompeni) Belanda.

Pengaruh kumpeni tidak terbatas pada wilayah daratan Singkil saja, tetapi juga menguasai wilayah lautan. Kompeni Belanda juga menguasai dan memonopoli seluruh hasil bumi yang diproduksi di daerah Singkil. Walaupun demikian, pengaruh kumpeni tidak boleh dilebih-lebihkan. Tradisi dagang penduduk Singkil tetap hidup, walaupun ada monopoli pelayaran dan perdagangan. Pengawasan di laut yang teliti sekali untuk melindungi monopoli kumpeni tak mungkin dilakukan, karena adanya tempat bersauh yang jumlahnya cukup banyak dan luas. Apa yang disebut dengan perdagangan gelap tetap berlangsung, terutama di daerah-daerah yang tidak terawasi. 

Sumber: Sudirman dalam “Sejarah Maritim Singkil”

 Memasuki abad XVIII, perdagangan di kawasan Asia Tenggara semakin ramai dikunjungi kapal-kapal dari Eropa dan Amerika. Hal tersebut juga berpengaruh di wilayah Singkil. Tidak hanya kapal-kapal dagang Belanda saja yang mengangkut hasil bumi dari singkil, tetapi juga datang kapal-kapal dagang dari Inggris dan Amerika. Hal ini menyebabkan rakyat Singkil tidak lagi loyall kepada Belanda yang telah memeras dan menindas selama hampir tiga puluh tahun lamanya. Kehadiran kapal-kapal dagang Inggris dan Amerika dianggap sebagai penyelamat perekonomian rakyat singkil karena hasil-hasil bumi mereka dapat dijual bebas kepada mereka.

Lebih-lebih setelah kedua negara (Amerika dan Inggris) tersebut menumbuhkan iklim perdagangan bebas, maka keuntungan rakyat Singkil dalam penjualan hasil bumi semakin meningkat. Hal ini sangat berbeda dengan Belanda yang menerapkan sistem monopoli yang sangat merugikan rakyat. Kehadiran kapal-kapal dagang dari kedua negara tersebut menyebabkan kedudukan Belanda di Singkil terancam dan makin lama semakin terdesak.

Perebutan hasil bumi seperti kemenyan, kapur barus, lada, rotan dan hasil hutan lainnya pada waktu itu menjadi semakin ramai, sehingga menimbulkan persaingan yang ketat di antara para pedagang asing yang datang ke daerah tersebut. Pusat-pusat perdagangan menjadi ajang perebutan. Pada waktu itu, pelabuhan utama yang menampung hasil-hasil bumi dari daerah Singkil terdapat di tiga tempat, yaitu : Pertama, di sebelah utara di tarik garis sampai ke Barat Ujung Bawang, Kedua di sebelah timur dan yang ketiga, di sebelah barat ke arah selatan dekat jalan Singkil yang terletak depan benteng Singkil. Kapal-kapal dagang ukuran besar dapat berlabuh di dermaga dengan kedalaman 5 – 10 vadem.

Kehadiran pedagang-pedagang Inggris dan Amerika menyebabkan wilayah kekuasaan Belanda menjadi semakin sempit dan akhirnya tersingkir dari Singkil. Setelah itu maskapai perdagangan Inggris East Indian Company menjadi semakin kuat kedudukannya di daerah Singkil. Namun di sisi lain, kesultanan Aceh berusaha merebut kembali kekuasaannya yang telah hilang di Singkil. Upaya itu dilakukan dengan cara menghasut penduduk Singkil dan Bengkulu supaya menentang Inggris. Pada bulan Agustus 1771, Residen Inggris yang bernama Gilles Holoway bersama Kapten Forrest berangkat ke Aceh dengan kapal Luconia dengan maksud akan menemui Sultan Aceh untuk membuka perdagangan di kawasan yang menjadi wilayah kekuasaan Aceh. Di samping itu, Inggris juga meminta agar kesultanan Aceh tidak mengganggu kegiatan perdagangan Inggris di kawasan Tapanuli. Namun usaha tersebut dihalang-halangi oleh orang-orang India Madras yang tergabung dalam Madras Syndicate Association.

Adanya rintangan dari orang-orang Madras tersebut, Inggris marah dan memerintahkan kapal perangnya untuk menghukum mereka. Pengiriman kapal perang tersebut dipimpin langsung oleh Sir Henry Botham. Setelah orang-orang India Madras tersebut berhasil dihalau, armada perang Inggris mulai mengincar daerah-daerah kekuasaan Belanda di sepanjang pantai barat Sumatera. Setapak demi setapak kedudukan pos-pos Belanda di pesisir barat pulau Sumatera direbut armada perang Inggris. Tindakan itu dilakukan karena di Eropa sendiri sedang Inggris sedang berperang dengan Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte. Belanda yang telah dikuasai oleh Perancis dianggapnya sebagai musuh Inggris. Oleh karena itu, kedudukan Belanda di Sumatera dan Jawa juga terancam oleh serangan Inggris. Setelah negara-negara di Eropa berdamai pada tahun 1788, pos-pos Belanda yang dikuasai oleh Inggris diserahkan kembali kepada Belanda.

Pada tahun 1795 di Eropa terjadi Revolusi Perancis, sehingga Inggris kembali memusuhi Belanda. Armada Perang Inggris yang dipimpin oleh Edward Cooles menyerang lagi pos-pos Belanda di sepanjang pantai Barat Sumatera. Mereka bertindak atas nama Pangeran Orange yang berpihak kepada Inggris. Hal tersebut dilakukan supaya kekayaan Belanda di Nusantara tidak jatuh ke tangan Perancis.

Pada tanggal 20 Juni 1801 Inggris mengangkat John Prince sebagai Residen baru untuk daerah Tapanuli dan Singkil. Ia membeli lada sebanyak 300 ton setiap tahun yang dikumpulkan dari Susoh dan Singkil. Untuk kelancaran pengapalan lada tersebut, Inggris mengadakan perjanjian dengan raja-raja Tapanuli Tengah pada tanggal 11 Maret 1815, yang diberi nama dengan Perjanjian Poncang atau Batigo badunsanak.

Akhirnya Belanda tahu bahwa kedudukan Inggris di pesisir barat Sumatera tidak begitu kuat. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk merebutnya kembali. Dengan melipat gandakan armada perangnya Belanda kemudian mengancam kedudukan Inggris di sepanjang pantai barat Sumatera, termasuk juga di Singkil. Di samping itu, kehadiran armada Amerika di Sumatera juga mengancam kedudukan Inggris. Untuk menjamin kepentingan dagang, Inggris melakukan pendekatan keagamaan. Untuk itu pada tahun 1817, diangkatlah Charles Halhead yang fasih berbahasa Arab sebagai Residen Inggris yang baru di Tapanuli. Setelah 5 (lima) tahun memerintah sebagai Residen, ia meninggal dunia karena sakit.

Selanjutnya kegiatan dagang di sepanjang pantai barat pulau Sumatera semakin hari semakin ramai. Lebih-lebih setelah kapal-kapal dagang Perancis dan India juga ikut meramaikan pelayaran dan perdagangan di kawasan tersebut. Walaupun kapal-kapal asing dari berbagai negeri hilir mudik di di sepanjang pesisir barat pulau Sumatera, tetapi para penguasa daerah Singkil lebih memilih bangsa Amerika untuk menjual hasil buminya karena mereka bersedia membeli dengan harga mahal. Pada suatu waktu, ada pedagang Amerika yang melakukan penipuan. Hasil bumi yang telah diserahkan oleh orang Singkil tidak dibayar. Rakyat marah dan menyita sebuah kapal Amerika Frienship asal Salem dan membakarnya di Kuala Batu. Kejadian tersebut kemudian ditanggapi oleh Presiden Amerika Serikat dengan mengirim kapal perang Potomac pada tahun 1831. Daerah Kuala Batu kemudian diserang dan dijadikan lautan api.

Pascainsiden tersebut, persaingan perdagangan di daerah Sumatera semakin ketat. Dari tahun ke tahun jumlah armada dagang dari berbagai negara semakin meningkat. Sejauh itu, hanya Inggris dan Belanda yang saling memperebutkan daerah kekuasaan. Untuk menghindarkan peperangan, kedua negara tersebut melakukan kesepakatan untuk menandatangani Traktat London. Adapun isi dari traktat tersebut yaitu Inggris harus menyerahkan kekuasaannya di daerah-daerah Belanda di Indonesia yang pernah direbutnya dahulu. Sebagai imbalannya, Belanda harus menyerahkan seluruh Semenanjung Melayu ke tangan Inggris.

Perjajinan itu sangat memberatkan Inggris. Menurut anggapannya, daerah Singkil dan Barus merupakan daerah miliknya yang telah diperolehnya sejak lama dengan susah payah. Jadi logis kalau Inggris yang menduduki daerah tersebut tidak rela jika harus menyerahkan begitu saja kepada Belanda. Di sisi lain, penyerahan pulau Sumatera oleh Inggris kepada Belanda juga sangat menyakitkan kesultanan Aceh. Mengingat Belanda selalu berusaha menghilangkan pengaruh Aceh dan menguras kekayaan yang ada.

Untuk memperkuat kedudukannya di daerah-daerah yang terbentang dii sepanjang pantai barat Sumatera, Belanda menempatkan wilayah Tapanuli termasuk Singkil dan Barus ke dalam Residen Sumatera Barat yang berkedudukan di Padang. Setelah VOC dinyatakan bangkrut dan dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799, seluruh aset kekayaan VOC diambil alih oleh Pemerintah Belanda dan mulailah zaman baru penjajahan Belanda di Indonesia. Jika dulu dikuasai oleh VOC, kemudian beralih ke tangan Pemerintah Kolonial Belanda.

Sumber: Sudirman dalam “Sejarah Maritim Singkil”

Pada ababd XVII kekuasaan VOC makin kokoh dan keuntungannya semakin besar. Keuntungan yang besar ini diperoleh karena raja-raja di Indonesia akhirnya harus menyerahkan hasil-hasil tanaman dalam bentuk sumbangan paksa (verplichte leverantien). Di samping itu masih ada contingenten, upeti-upeti dalam bentuk barang dagangan tanpa pengganti dari VOC.

Keserakahan dan nafsu mencari untung sebesar-besarnya yang dilakukan oleh VOC Belanda menimbulkan konflik dengan para penguasa daerah yang dirugikan. Perlawanan-perlawanan pun akhirnya tidak dapat dihindari sehingga terjadilah pertempuran, walaupun perlawanan-perlawanan itu akhirnya dapat ditumpas.

Belanda berusaha memperluas daerah pengaruh kekuasaannya di pulau Sumatera. Kepala-kepala daerah diminta untuk bekerja sama dengan Belanda dan hanya dibolehkan berdagang dengan Belanda. Bagi para penguasa daerah yang menentang, akan ditundukkan dengan kekerasan.

Setelah Belanda berhasil menguasai Bengkulu, Riau, Padang dan sebagian Sumatera Utara, Belanda mulai melirik daerah Singkil. Daerah Singkil yang memiliki hasil bumi yang melimpah, terutama pala, lada, rotan, kemenyan, kapur barus dan hasil hutan lainnya harus jatuh ke tangan VOC. Pada tahun 1670, VOC Belanda meminta Haji Lebei Dapha menerima kehadiran kapal dagang Belanda. Mengingat Belanda hanya ingin berdagang, penguasa Singkil tersebut dengan senang hati menerima kehadirannya. Bahkan dijalin kerja sama perdagangan rempah-rempah dengan Belanda. Semula keuntungan dagang yang diperoleh cukup besar karena Belanda bersedia membeli rempah-rempah dari Singkil dengan harga mahal.

Pada saat bersamaan dengan kehadiran Belanda, Haji Lebei Dapha sedang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Kesultanan Aceh. Hal ini dilakukan karena upeti yang harus dibayarkan kepada Sultan Aceh dirasa sangat memberatkan. Lebih dari itu, barang-barang produksi dari Singkil harus dijual dengan harga yang telah ditetapkan kepada Sultan Aceh. Karena Singkil merasa tidak bebas berdagang dengan bangsa lain, menyebabkan kehadiran Belanda dianggap sebagai dewa penolong dan menjalin hubungan kerjasama yang baik. Atas dasar inilah, akhirnya Haji Lebei Dapha memberi hak istimewa kepada VOC Belanda, dengan harapan VOC Belanda bersedia membantu Raja Singkil melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Aceh.

Atas bantuan VOC Belanda, Raja Singkil berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Aceh. Sebagai upahnya, pada tanggal 14 Maret 1672 VOC Belanda memaksa penguasa daerah tersebut untuk menandatangani surat perjanjian yang sangat merugikan kerajaan Singkil. Adapun isi perjajian bilateral tersebut di antaranya yaitu : (1). Kerajaan Singkil harus setia sepenuhnya kepada Belanda; (2). Semua hasil bumi harus dijual kepada asosiasi dagang Belanda atau VOC dengan harga yang ditentukan oleh pihak Belanda. Ternyata Belanda sangat licik dan penipu. Bantuan yang diminta untuk melepaskan diri dari kekuasaan Sultan Aceh justru jadi bumerang yang menyebabkan Singkil akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Sebagai raja kecil, ia tidak ada pilihan lain selain harus menerima persyaratan yang disodorkan pihak Belanda. Perjajian bilateral yang dibuat pada tanggal 14 Maret 1672 dengan berat hati terpasksa ditandatangani oleh Haji Lebei Dapha.

Walaupun dengan terpaksa Haji Lebei Dapha menerima keinginan Belanda, tetapi ada juga tokoh-tokoh masyarakat Singkil yang menentangnya. Salah satu di antaranya yaitu seorang penghulu Singkil yang bernama Raja Lela Setia dengan keras menentang perjanjia yang sangat merugikan tersebut. Ia menyatakan akan tetap setia kepada kesultanan Aceh dan anti terhadap belanda. Oleh karena itu, ia berusaha menjual hasil rempah-rempah Singkil ke daerah lain. Pembangkakang itu membuat Belanda berang dan mengancam akan menghukumnya. Raja Lela Setia tidak takut ultimatum Belanda tersebut. Akhirnya Belanda mengirim satu kompi pasukan perang ke Singkil untuk menangkap Raja Lela Setia dan para pengikutnya.

Sebelum tentara Belanda datang, Raja Lela Setia melarikan diri sehingga penangkapan atas diri dan pengikutnya tidak berhasil. Belanda kemudian memaksa penghulu Singkil lainnya untuk membantu menangkapnya. Namun usaha ini juga tidak berhasil. Untuk memantapkan kekuasaannya di Singkil, Belanda kemudian memperbaharui perjanjian yang telah dibuatnya dahulu dengan perjanjian baru yang isinya : (1). Seluruh hasil bumi Singkil harus diserahkan kepada Belanda dengan harga yang sangat rendah; (2). Para penghulu Singkil diwajibkan untuk mengusir Raja Lela Setia apabila kembali ke Singkil.

Pada tanggal 12 Februari 1681, Belanda menyodorkan surat perjanjian baru kepada para penguasa daerah di Singkil. Pihak Belanda diwakili oleh Jan Vaan Leene dan Aren Silvius. Sedangkan raja-raja Singkil yang dipaksa menandatangani perjanjian baru tersebut di antaranya yaitu : Raja Indra Mulia (penguasa wilayah kanan sungai), Mashoera Diraja (penguasa wilayah kiri sungai), Raja Setia Bakti, Penghulu Siking Tousian, Penghulu Banti Panjang Tonsidin, Penghulu Batu-Batu, Penghulu Perbentjein, Penghulu Kota Baru, Pang Hitam. Adapun yang menjadi saksi perjanjian tersebut adalah utusan dari Kerajaan Barus.

Pascapenandatanganan perjanjian tersebut, menyebabkan kedudukan Raja Lela Setia digantikan oleh Masoera Diraja. Pada masa pemerintahan Raja Pedytam, perjanjian tersebut dirasa sangat menyakitkan dan merugikan pihak Singkil. Rakyat menjadi sangat menderita karena hasil panennya hanya dibeli dengan harga murah sehingga tidak dapat untuk menutup kebutuhan hidupnya. Raja Pytam ingin menolong penderitaan rakyatnya, namun beliau tidak berani melawan secara terang-terangan. Ia hanya dapat menyuruh Minuasa memimpin sekelompok orang kepercayaan untuk menyembunyikan hasil bumi dan menjualnya ke pelabuhan lain melalui penyelundupan atau perdagangan gelap. Semula penyelundupan ini aman-aman saja sehingga dapat sedikit membantu mendongkrak perekonomian rakyat. Namun lama-kelamaan usaha perdagangan gelap tersebut dapat diketahui Belanda. Pihak Belanda marah dan menyiapkan satu kompi pasukan untuk menyergap kawanan penyelundup tersebut. Karena tidak menyangka akan adanya serangan dadakan, maka banyak anak buah Minuasa yang berhasil ditangkap tentara Belanda.

Setelah kejadian itu, Belanda melakukan pembaharuan perjanjian lagi. Pada tanggal 8 Juni 1707 Belanda memaksa wakil dari penguasa Singkil untuk menandatangani perjanjian tersebut. Adapun isinya merupakan penyempurnaan isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya, ditambah dengan pernyataan bahwa penguasa Singkil yang tunduk pada Belanda harus mencari dan menangkap orang-orang yang anti Belanda.

Tindakan Belanda yang merugikan masyarakat Singkil tersebut menyebabkan rakyat menderita. Hal tersebut akhirnya diketahui pula oleh Inggris. Oleh karena itulah dengan kedok ingin menolong rakyat Singkil dari kekejaman Belanda, Inggris berusaha menanamkan pengaruhnya di Singkil. Memasuki abad XVII, perusahaan dagang Inggris yang tergabung dalam East Indian Company berusaha menanamkan pengaruhnya di Singkil. Setelah Inggris memantapkan kekuasaannya di kawasan Bengkulu (Fort Marlborough), Natal, Poncan dan Barus, perusahaan dagang Inggris berusaha mencari hasil bumi di wilayah Singkil. Secara diam-diam para penguasa Singkil melakukan hubungan dagang dengan Inggris. Hal tersebut menimbulkan pertentangan dengan Belanda yang telah lebih dahulu menguasai Singkil. Menyadari bahwa Singkil telah menjadi wilayah kekuasaan Belanda, Inggris kemudian meninggalkan Singkil.

Sumber: Sudirman dalam “Sejarah Maritim Singkil”

Masyarakat Aceh Singkil terdiri dari berbagai suku dan budaya, berdasarkan sejarahnya asal etnis yang paling dominan adalah dari Minang dan Dairi, suku Minang banyak menguasai dalam bahasa pengantar dagang, sedangkan mayoritas suku Dairi berbahasa Ulu (mudik), yaitu bahasa Dairi dialek Singkil dan bahasa Minang dilalek pesisir.

Singkil sebagai bandar dan kota perdagangan tentunya mempunyai daya tarik tersendiri bagi penduduk dari daerah lain sebagai tempat mencari nafkah. Fenomena ini telah menyebabkan penduduk daerah tersebut sangat hiterogen jika ditinjau dari suku bangsa. Pada tahun 1852 jumlah penduduk Kota Singkil sebanyak 2.104 orang yang terdiri dari 6 orang Eropa, 55 orang Cina, 183 orang Arab dan sisanya adalah penduduk setempat dari berbagai kelompok suku bangsa. Memperhatikan data tersebut terlihat bahwa di Kota Singkil dahulu terdapat 2 kelompok suku bangsa dari luar, yaitu Arab dan Cina yang secara turun temurun mempunyai budaya yang cukup kuat dalam berdagang. Kehadiran kedua kelompok suku bangsa tersebut kiranya dapat memperkuat hipotesis yang mengatakan bahwa Singkil memang merupakan kota perdagangan.

Selanjutnya pada tahun 1894 Kota Singkil didatangi oleh orang-orang Melayu dari Kesultanan Pahang. Mereka adalah orang-orang Melayu yang melarikan diri karena Kerajaan Pahang diduduki oleh pasukan Inggris. Di Kota Singkil mereka mempersiapkan diri untuk berjihad dan mengharap dapat bantuan dari Kerajaan Aceh dalam melawan agresi pasukan Inggris tersebut. Mereka baru kembali ke Pahang setelah mendapat himbauan dari para ulama kesultanan supaya mereka melakukan perjuangan dari dalam negeri.



Tentang agama penduduk pada masa itu, bahwa umumnya masyarakat Singkil beragama Islam, dan sebagian kecil memeluk agama Kristen, yang terletak di daerah Simpang Kanan di desa Kutakerangan. Sesuai dengan keputusan Gubernur Hindia Belanda diberikan penetapan pada Huria Kristen Batak Protestan tanggal 10 Januari 1935 No. 37 atas permintaan dari ketua Huria untuk diberikan izin mendirikan sebuah gereja, yang kemudian dinamakan Gereja Zending Batak.

Dalam sebuah laporan W.L. Ritter menyebutkan bahwa penduduk Singkil sekitar 600 orang atau sekitar 150 buah rumah tangga, akan tetapi apabila diperkirakan sampai kepada penduduk yang ada di pedalaman mencapai 10.000 jiwa. Hubungan penduduk Singkil dengan Pak-pak yang belum beragama di pedalaman umumnya berjalan harmonis.



Ritter juga menambahkan bahwa Bangsa Proto Malayan yang terdesak oleh bangsa Mongolia, mengarungi Lautan Hindia (Indonesia) menuju ke wilayah Singkil. Sebagian dari mereka itu memasuki ke arah arus Simpang Kanan terus ke Dairi, sehinga mereka menjadi marga Dairi. Sebagian daerah itu bercampur dengan suku asli dan disertai dengan masuk suku Minang. Dari itu muncullah suku Singkil yang terdiri dari campuran suku pendatang dari suku Minang, Batak, Nias, Aceh, suku Singkil.

Tentang jumlah penduduk Kota Singkil pada waktu itu tidak disebutkan dalam laporan penyelidikan Belanda ketika akan menyerbu Aceh pada abad ke-19. Belanda hanya menyebutkan bahwa Tapaktuan adalah sebenarnya pemukiman dari orang Pasaman di wilayah gunung opir, dan merupakan pelabuhan utama untuk ekspor lada karena tidak saja ditanam di sekitarnya, tetapi juga di tempat-tempat lebih ke selatan seperti Asahan, Terbangan, Sinabu dan Bakongan.

Seorang penduduk dari XXV Mukim Aceh Besar dengan pengikutnya pindah ke Susoh (Aceh Selatan), lalu menjadi kepala kampung di Susoh. Dua orang keturunannya, yang pertama bernama Bassa Bujang (Bujang Bapa) pindah ke Trumon, dan yang kedua bernama Lebai Dapha (Haji Dafna) pindah ke Singkil, dan berhasil mengembangkan pertanian lada di Singkil. Penguasa daerah Singkil pada waktu itu menaruh simpati kepada Haji Dafna dan menikahkan anak putrinya dengan Lebai Dapha (Haji Dafna), bahkan menyerahkan pimpinan kenegerian tersebut kepada Lebai Dapha. Bassa Bujang yang kurang berhasil di Trumon mengundang adiknya (Haji Dafna), supaya pindah ke Trumon. Permintaan itu dituruti oleh Lebai Dapha tanpa melepaskan kedudukannya di Singkil. Kedua daerah itu kemudian berkembang dengan pertanian lada.

Hasil pertanian tersebut dapat meningkatkan pendapatan mereka yang memimpin kenegerian itu. Lebai Dapha kemudian meninggal dan meninggalkan 17 orang putri dan 10 orang putri. Putranya yang laki-laki bernama Raja Bujang menggantikannya menjadi raja di Trumon dan putranya yang kedua bernama Muhammad Arif memerintah di Singkil.

Sumber: Sudirman dalam “Sejarah Maritim Singkil”

Dalam beberapa almanak Pemerintah Hindia Belanda diterangkan bahwa Kota Singkil (Singkil pertama) telah dibangun pada tahun 1841. Dijelaskan bahwa pada saat itu daerah tersebut merupakan salah satu wilayah yang tergabung dalam Keresidenan Tapanuli. Data atau informasi yang disajikan tersebut kiranya perlu disikapi secara hati-hati, apakah Kota Singkil memang baru dibangun pertama kali pada tahun 1841 atau pada saat itu kota tersebut hanya melanjutkan program pembangunan yang telah ada sebelumnya. Akan tetapi yang jelas semenjak saat itu mulailah di Kota Singkil dibangun berbagai fasilitas pemerintahan, seperti rumah controleur (1843), Pendopo (1847), Kantor Keuangan (1850), Kantor Bea Cukai dan Pelabuhan (1850), dan sebuah Rumah Sakit Militer (1949). Selain itu, dibangun pula pemukiman penduduk dan pasar. Pada saat pemerintahan Belanda melakukan Sensus Sosial Ekonomi pada tahun 1852 diterangkan, bahwa semua infrastruktur yang telah dibangun sebelumnya masih dalam kondisi yang baik kecuali rumah controleur. Kemudian pada tahun 1857 dibangun pula sebuah penjara.

Secara geografis kota Singkil pertama terletak di sebelah barat kota Singkil yang sekarang yaitu tepatnya terletak di ujung kota Singkil. Bekas kota Singkil pertama tersebut saat ini terletak jauh di tengah laut dan daerah itu merupakan jalur yang berbahaya bagi pelayaran kapal. Para nelayan Singkil menyebut lokasi tersebut dengan nama Berok. Pada saat pasang surut kadang-kadang bekas bangunan perumahan penduduk pada jaman dahulu muncul ke permukaan dan dapat dilihat, terutama oleh nelayan-nelayan yang sedang menangkap ikan. Selain itu, bekas-bekas bangunan dan peralatan rumah tangga penduduk kota Singkil pertama sering pula didapatkan penduduk pada saat mereka melaut. Hanya sayangnya berbagai bukti sejarah tersebut tidak pernah diinventarisasi dan diteliti.

Setelah kota Singkil pertama hancur mulailah pemerintah Belanda mempersiapkan sebuah kota baru yang lokasinya agak menjorok ke darat dan persiapannya dimulai sejak tahun 1861 sampai tahun 1863. Kota tersebut mulai ditempati pada pertengahan tahun 1863 dan dikenal dengan kota Singkil kedua. Kota Singkil kedua tersebut terletak berseberangan dengan kota Singkil yang sekarang. Kota Singkil kedua sering juga disebut dengan Singkil Lama. Sedangkan kota Singkil yang sekarang disebut dengan Singkil Baru (Niew Singkil). Kota Singkil kedua tersebut terpaksa harus ditinggalkan karena terjadinya pendangkalan di muara sungai Singkil yang mengakibatkan jauhnya kapal-kapal untuk bongkar muat barang, terutama untuk kepentingan militer Belanda.

Kota Singkil sekarang terletak di tepi muara sungai Singkil dan pinggir pantai barat Aceh. Kota Singkil merupakan kota yang dipersiapkan Belanda sebagai pusat administrasi. Sebelum memindahkan Kota Singkil lama tersebut, pemerintah Belanda terlebih dahulu mengatur tata kota Singkil Baru dengan mendirikan kantor-kantor pemerintah, rumah controleur, tangsi Militer, rumah Beacukai, Dermaga, Mercusuar, Lapangan Bola Kaki, Gedung Sekolah, lokasi rumah penduduk, dan pengaturan jalan-jalan. Rumah-rumah orang Eropa sengaja dibangun tersendiri dan menghadap sebuah danau besar yang semula merupakan alur sungai Singkil. Bekas danau tersebut saat ini telah ditumbuhi berbagai tumbuhan rawa, seperti nipah dan eceng gondok yang mengakibatkan terjadinya pendangkalan di muara sungai Singkil.

Pemerintah Hindia Belanda juga membangun rumah Datuk Besar Singkil yang biasa disebut dengan Rumah Gadang dan sebuah mesjid besar. Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga membangun sebuah kantor pos serta kantor telegram yang dapat menghubungkan kota Singkil dengan berbagai kota lainnya di Indonesia. Sebagian bangunan peninggalan Belanda tersebut masih dapat dijumpai di kota Singkil seperti rumah Gadang, rumah controleur dan dermaga. Sebaliknya bekas-bekas rumah orang Eropa kebanyakan sudah diruntuhkan dan diganti dengan bangunan kantor pemerintah.



Wilayah Singkil yang terletak di pantai barat Sumatera, berdasarkan keputusan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 10 Oktober 1908 No. 3 serta Stbl. No. 604 tahun 1908, sebagai berikut:

Di pantai Lautan Hindia (Indonesia) pada ketinggian puncak dari Blang Sulpa ke Lae Muntu, kemudian ke arah kanan dari ujung sungai dan terdapat jalan kecil dari pangkalan Cinendang yang membelah dari Sukananing dan pangkalan Puge. Dari pangkalan Puge sampai ketinggian puncak Dleng Pemberangan dan Deleng Belilingen, Deleng Cambaren, Deleng Pangulubalang, Deleng Pabaken Singkeruh ke Muara Sibalik. Selanjutnya menuju ke depan dari seberang Simpang Kiri ke Lae Bengkong dengan perbatasan sungai. Garis perbatasan utara Singkil dengan Alas dapat dilihat dari Lae Bengkong sampai pantai laut Itam.

Perbatasan sebelah barat sesuai dengan surat keputusan Gubernur Hindia Belanda pada tanggal 27 Januari 1930 No. 32/p.z, sebagai berikut: sebelah kiri dari Alur Putih atau arah timur menuju Gunung Manu dan ke arah selatan menuju Titi Orat. Dari Titi Orat ke arah Selatan menuju Titi Toro. Arah sebelah barat menuju Suak Mangkuto sampai ke ujung Lintang Utara sungai-sungai yang membelok dari arah barat kemudian ke batas berikutnya sampai pada tempat Mampelam dan terakhir ke arah kanan Barat Daya mengarah ke Ujung Pasir Galak. Sebelah selatan merupakan batas lautan Indonesia termasuk Pulau Banyak di sebelah barat daya Singkil serta lima pulau besar di Ujung Manuk-Manuk.

Sumber: Sudirman dalam “Sejarah Maritim Singkil”

Sejarah Singkil sangat menarik untuk dikaji, baik dari segi sejarah, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Hal itu disebabkan kota tersebut pernah mengalami kejayaan, terutama di bidang ekonomi sekitar abad ke-18 ketika Kota Singkil menjadi Banda (pelabuhan) di bagian pantai selatan Aceh dan sekaligus menjadi kota perdagangan. Pada saat itu segala perdagangan lada yang akan diekspor ke Amerika Serikat harus melalui Kota Singkil (A.Doup, 1899). Bahkan kota tersebut menjadi daya tarik penduduk daerah lain sebagai tempat untuk bekerja. Pada saat itu memang ada istilah bagi penduduk di Aceh yang mengatakan pergi ke rantau barat yang berarti pergi ke pantai selatan Aceh untuk mencari nafkah dan sekaligus bertanam lada (C. Snouck Hurgronje, 1906). Daerah Trumon merupakan salah satu daerah penghasil lada di Pantai Barat yang saat itu berada di wilayah Singkil (G.A. Fokker, 1935 dan J.Siegner, 1940).

Menentukan kapan kota Singkil dibangun pertama kali tentunya merupakan pekerjaan yang sangat sulit apabila menentukan tanggal, bulan atau tahun. Pendekatan yang digunakan paling maksimal kemungkinan hanya dapat memperkirakan pada abad keberapa sebenarnya kota Singkil dibangun. Keterbatasan ini kiranya berkaitan dengan bukti sejarah dan empiris yang ada saat ini yang tidak dapat mendukung secara maksimal dalam menentukan kapan kota tersebut sebenarnya mulai dibangun. Oleh karena itu, berbagai pendekatan yang sifatnya tidak langsung, terutama melalui pendekatan sejarah mutlak harus dilakukan dan kemudian dilanjutkan dengan pendekatan empiris melalui sebuah penelitian yang komprehensif dan melibatkan berbagai pakar, terutama dalam bidang Arkeologi dan Paleantropologi. Seperti diketahui bahwa Syekh Abdurrauf Al Singkili lahir pada pertengan abad ke –17 (1616-1693) (Liaw Yock Fang, 1993). Apabila dikaitkan dengan kelahirannya secara tidak langsung menunjukkan bahwa kemungkinan Kota Singkil telah dibangun pada abad tersebut. Hal ini mengingat bahwa Abdurrauf Al Singkili lahir di kota tersebut.

Catatan-catatan asing yang tertua mengenai Singkil masih sedikit didapatkan, kecuali Barus dan Fansur (walaupun dahulunya Singkil juga termasuk wilayah Fansur) yang memang sudah banyak dikenal karena hasil alamnya yaitu kapur barus. Baru setelah abad ke-9 M, di samping Barus dan Fanshur sudah mulai banyak catatan, terutama dari pelawat Islam tentang Niyan (Nias). Buzurg ibn Shahriyar Ramhurnuz (850 M) dalam bukunya Akhbar al Sin wal Hind, menyebutkan bahwa ”penduduk yang ada di sekitar Barus masih primitif. Kalau ada kapal yang karam di laut dekat Fanshur, para pelawat asing tersebut berusaha mencapai Lamuri, karena di sana ada teman sebangsanya dan untuk dapat memudahkan pulang ke negerinya dengan menumpang kapal.”

Agresi Belanda ke Singkil melalui Perang Batu-Batu, menyebabkan wilayah singkil berada dalam sistem pemerintahan langsung (Gubernemen Gebied) seperti halnya Aceh Besar, sebagai daerah yang berhasil dikuasai oleh Belanda melalui perang. Belanda kemudian mendirikan pemerintahan di Singkil, dan antara tahun 1903-1908 Landschap Trumon termasuk dalam kekuasaan onderafdeling Singkil.



Apabila ditinjau perkembangan ekonomi Kota Singkil pada abad ke-18 ternyata cukup maju sebagai kota perdagangan. Dijelaskan bahwa nilai ekspor barang dikirim melalui pelabuhan Singkil pada tahun 1851 mencapai 300.000 Gulden. Barang-barang yang paling bernilai diekspor melalui pelabuhan Kota Singkil adalah lada. Hasil bumi lainnya yang berasal dari wilayah Singkil yang di ekspor melalui pelabuhan Singkil adalah minyak nilam, damar, karet, gambir, kelapa, rotan dan kapur barus.

Perkembangan kota Singkil selanjutnya bagaikan sebuah drama yang meninggalkan sebuah tragedi yang memilukan. Pada saat kota tersebut mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat tiba-tiba pada tanggal 12 Februari 1861, kota Singkil hancur karena dilanda gempa bumi (tektonik) dan gelombang laut yang sangat dahsyat (E.B. Kielstra, 1892). Daerah lain di pantai barat Aceh yang dilanda gempa bumi tersebut adalah sebagian dari wilayah Aceh Selatan, seperti Meukek, Susoh, dan Kuala Batee. Gempa bumi tersebut telah mengakibatkan hancurnya hampir semua infrastruktur yang dibangun pemerintah Belanda sebelum tahun 1852 dan juga telah menghancurkan perkebunan lada penduduk tidak hanya di Singkil, melainkan juga di daerah lain di pantai barat Aceh.



Secara administrasi kota Singkil mempunyai 4 desa, yaitu desa Kilangan, Ujung, pasar, dan desa Pulau Sarok. Pada tahun 1905 penduduk Kota Singkil berjumlah 1.665 orang, namun pada tahun 1930 jumlah penduduk berjumlah 5 kali lipat, menjadi 3.301 orang (W.K.H. Ypes,1907 :284 dan J.Pauw, 1935 : 75). Meningkatnya jumlah penduduk tersebut berkaitan erat dengan status kota Singkil sebagai pusat administrasi dan perdagangan, sehingga merupakan faktor penarik bagi penduduk daerah lain untuk bermigrasi ke daerah tersebut.

Selain berfungsi sebagai pusat administrasi, kota Singkil juga berfungsi sebagai pusat perdagangan. Setelah pindah ke kota Singkil Baru, Singkil kembali menemukan kejayaannya sebagai kota perdagangan yang cukup dikenal di pantai selatan Aceh. Kota Singkil merupakan tempat transit barang-barang yang akan diperdagangkan, terutama barang-barang yang berasal dari Alas, Dairi, Simeulue, dan Pulau Banyak, demikian pula sebaliknya (G.A. Fokker, 1936). Pada zaman Belanda, kota Singkil secara teratur dalam dua minggu sekali disinggahi oleh kapal KPM. (J.J. van de Velde, 1987).

Salah satu peninggalan yang cukup penting dan merupakan bukti bahwa kota Singkil merupakan kota perdagangan dapat dilihat dari bentuk rumahnya. Sebagian besar bangunan rumah bertingkat dua, sebelumnya rumah-rumah tersebut berfungsi sebagai tempat berjualan dan tempat tinggal. Pada bagian bawah biasanya digunakan sebagai tempat berjualan, sedangkan di bagian atas berfungsi sebagai tempat tinggal. (Kompas, 1991). Pada saat ini kebanyakan rumah tersebut berfungsi sebagai tempat tinggal dan hanya sebagian kecil dari penduduk yang menggunakan sebagai tempat berjualan.

Menurut legenda atau cerita orang tua-tua, bahwa asal-usul Singkil itu dari tiga tempat yaitu Kampung Gelombang di alur Lae Souraya Simpang Kiri adalah daerah yang pertama sekali terhempas oleh gelombang pasang naik, dan sebagai muaranya adalah Kuala Kapeng. Akibat erosi sungai, lama-kelamaan menimbulkan tanah yang muncul ke permukaan sehingga sungai menjadi dangkal dan beralih ke daerah lain. Akibat erosi sungai tersebut muncul daerah Paya Bumbung, Rantau Gedang, Teluk Ambon, Kuala Baru. Kampung Singkil Lama, menurut cerita sudah tenggelam. Daerah itu dahulu terletak di depan daerah Kilangan yang bernama Pasir Tangah. Menurut cerita, sekitar tahun 1890 pada hari Jumat terjadi amukan Lautan Hindia (Lautan Indonesia), air laut mengadakan pergeseran yang begitu cepat dengan membawa arus gelombang yang membersihkan pantai pelabuhan Singkil, sehingga hilang dari permukaan. Sebagian dari mereka dapat menyelamatkan diri dan pindah ke daerah Singkil sekarang, yang disebut daerah Singkil Baru, oleh Belanda menamakannya dengan Niew Singkil. Dari tiga daerah itulah disebutkan asal wilayah Singkil. Wilayah Pasir Tangah manakala air surut dapat kelihatan batu-batuan bekas rumah. Daerah ini menjadi lautan yang berbahaya bagi para nelayan, yang disebut Ujung Singkil.

Cerita lain menyebutkan, bahwa Singkil pada mulanya terletak di daerah yang telah mempunyai bahasa sendiri sehingga disebut Singkel, yang berasal dari kata Sikkel (suka, senang atau ingin), yang kemudian berubah menjadi Singkel. Hal ini terjadi dari asimilasi para pedagang Timur Tengah dengan suku Hindia, dan penduduk asli, sehingga muncul suatu kebudayaan tersendiri. Asal kata Singkil juga disebutkan bahwa pada zaman perdagangan dengan perahu layar dahulu, ketika terjadi angin ribut dan badai, maka para awak perahu tersebut menyingkir mencari tempat perlindungan dengan memasuki teluk-teluk yang ada di sekitarnya. Disebabkan kebiasaan menyingkir itu, maka lama-kelamaan menjadi Singkil, yang maksudnya menyingkir.

Nama Singkil mulai banyak terdapat dalam catatan asing sekitar abad ke-16 M, bahkan seorang ulama yang terkenal di Aceh dan juga Nusantara yaitu Syaikh Abdurrauf Syiah Kuala juga berasal dari Singkil. Seorang pencatat bangsa Portugis terkenal bernama Tome Pires, menulis buku laporan mengenai Nusantara dari tempat tinggalnya di Malaka antara tahun 1512-1515 M. Ia menulis mengenai pantai barat Sumatera, seperti Andalor (Andalas), Tiquo (Tiku), Pariaman, Minhac Barras (Nias) serta Baruus (Barus), juga untuk pertama kalinya menyinggung tentang kerajaan Chinquelle atau Quinchell (Singkil). Tome Pires menyebutkan bahwa Kerajaan Singkil berbatasan dengan Kerajaan Barus, di sebelah utara berbatasan dengan Kerajaan Mancopa atau Daya, Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya), sedangkan penduduknya yang di pedalaman bersifat kanibal. Raja Singkil pada waktu itu belum beragama. Di wilayah kerajaan Singkil ini banyak menghasilkan damar, sutera, lada, emas. Mempunyai perahu yang laju dan ada sungai-sungai. Kerajaan Singkil itu melakukan hubungan dagang dengan Pasai, Barus, Tiku dan Pariaman. Penduduk yang tinggal di pedalaman memakan daging manusia dari musuh-musuh mereka yang tertangkap. Menurut Veth (1873) nama Sinckel juga sudah mulai ada dalam peta Petrus Plancius pada tahun 1592 M.

Tom Pires juga menyebutkan bahwa Singkil dibagi dalam dua kerajaan, yaitu Singkil Hulu dan Singkil Hilir. Dalam Kerajaan Singkil Hulu terdapat sekitar sebelas kerajaan kecil di kawasan Simpang Kanan, dan sepuluh kerajaan kecil di kawasan Simpang Kiri. Sedangkan kerajaan-kerajaan Singkil Hilir termasuk Pulau Banyak dibagi dalam tujuh daerah kerajaan.

Secara administratif pemerintah kolonial Belanda membagi keresidenan Aceh menjadi dua wilayah yang mereka sebut rechtreeks bestuur gebied daerah yang diperoleh oleh Belanda melalui perang. Kepala pemerintahan disebut districthoofd dan daerah taklukan atau zelfbestuur gebied, juga disebut landschap (swapraja), yang dikepalai oleh zelfbestuurder. Onderafdeling Singkil pada waktu itu termasuk dalam Onderafdeling Zuidelijk Atjeh Landschappen, yang terdiri atas distrik Singkil, Simpang Kanan, Simpang Kiri, dan Onderafdeling Banyak Einlanden (Pulau Banyak). Distrik Hoofd Singkil adalah Datuk A. Murad, Simpang Kanan oleh T. Raja Hidayo, Simpang Kiri oleh Ruhum, dan Onder District Pulau Banyak oleh Raja Alamsyah. Controleur onderafdeling Singkil pernah dipegang oleh A.J. Piekaar.

Pada tahun 1861 hingga 1907, untuk lebih mudah pengawasan, maka Pemerintah Hindia Belanda atas permintaan komandan tentara Belanda di Kutaraja menugasi Pootman sebagai residen yang sekaligus diperbantukan kepada tentara KNIL, memegang pemerintahan militer selama pemerintahan sipil belum terbentuk, dan memutuskan bahwa wilayah Singkil tunduk kepada Gubernur Sipil dan Militer Aceh yang berkedudukan di Kutaraja. Hal tersebut ditetapkan pada tahun 1905 dengan Stbl. No. 440.

Controleur J.C. Tigelman sesuai dengan laporan terakhirnya pada tanggal 15 Nopember 1941, bahwa wilayah Singgkil terdiri atas 4 jabatan districthoofd dan 16 onderdistricthoofd, yaitu: District Benaden Singkil terdiri atas Onderdistrict Benaden Singkil adalah Datuk A. Murad, Onderdistrict Rantau Gadang, Onderdistrict Teluk Ambon, dan Onderdistrict Paya Bumbung oleh Raja Maholi. Distrik Simpang Kanan terdiri atas Onderdistrict Tanjung Mas oleh Datuk Bambon, Onderdistrict Belegen, Onderdistrict Kombih oleh Datuk Ruhum, Onderdistrict Kota Baru oleh Raja Baharu, Onderdistrict Tualang oleh Raja Gontar, Onderdistrict Longkip oleh Raja Kuta, Onderdistrict Pasir Belo oleh Raja Yusuf, serta Onderdistrict Batu-Batu oleh Raja Kamaruddin. District Banyak Einlanden oleh Sutan Umar, terdiri dari Onderdistrict Pulau Tuanku oleh Datuk Somik dan Onderdistrict Pulau Delapan oleh Datuk Badiaga.

Sumber: Sudirman dalam “Sejarah Maritim Singkil”

Kerajaan-kerajaan di Aceh Singkil Bagian Hulu

Daerah ini pernah dikuasai oleh tiga kerajaan kecil (Sabeak). Masing-masing : Negeri dari Marga Angkat, Negeri dari Marga Tendang yang beribukota Panisihan dan Negeri dari Marga Buluara. Ketiga negeri tersebut akhirnya lenyap. Beberapa tahun kemudian muncullah Kerajaan Berguh Tugan di wilayah Simpang Kanan (sungai Simpang Kanan). Tepatnya terletak didekat Kampung Tugan.

Menuju ke arah muara, di sekitar sungai Simpang Kanan tumbuh menjamur kerajaan-kerajaan kecil. Antara lain: Kerajaan Jantan Arus (seberang sungai Simpang Kanan), Kerajaan Bajar Pintor di Hilir Pakiraman, Kerajaan Betahpe didekat Kampung Surau, Kerajaan Kehing dan Raba (keduanya di belakang Cibubukan), Kerajaan Uhuk Latar (di belakang Surau) dan Kerajaan Huta Batu.

Menurut trombo, kerajaan-kerajaan kecil itu tunduk kepada Kerajaan Pagaruyung Minangkabau, keturunan dari Cindur Mata. Ketika Putra Maharaja Minangkabau kawin dengan Putri Aceh, wilayah Simpang Kanan dan Simpang Kiri yang disebut juga “Rantau 12” dijadikan Mas Kawin. Dengan demikian kerajaan-kerajaan tersebut menjadi daerah kekuasaan Aceh.

Penobatan raja-raja di semua wilayah kekuasaan Aceh, dilakukan langsung oleh Sultan Aceh. Biasanya dilaksanakan dalam sebuah upacara dengan Surakata dan Keris kebesaran (Bawar). Kemudian di wilayah Singkil Hulu ini, terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil yang disebut “Raja Sinambelas” (Raja 16) yaitu :

Simpang Kanan : terdiri dari Raja Tanjung Mas, Raja Surau, Raja Selatong, Raja Ujung Limus, Penghulu Pakiraman, Penghulu Simsim, Penghulu Rantau Panjang, Penghulu Tanah Merah, Kejeruen Sarasah, O.K. Balau Punaga dan Saping.

Simpang Kiri : terdiri dari Raja Tualang, Raja Kota Baru, Raja Pasir Belo, Raja Binanga, Penghulu Belegen, Penghulu Kumbi, Penghulu Batu-batu, Penghulu Longkip dan Penghulu Samar Dua.

Mereka (baik yang di Simpang Kanan maupun yang di Simpang Kiri) memimpin sepetak wilayah. Wilayah-wilayah tersebut kemudian terkenal dengan nama penguasanya. Misal wilayah yang dipimpin oleh Raja Tualang, dikenal orang sebagai Kerajaan (Negeri) Tualang.

Ketika Singkil dianeksasi oleh Belanda dan dijadikan enderafdeeling pada tahun 1840, keduapuluh penguasa (raja) itu disatukan dalam sebuah wadah bernama Dewan Rapat. Tetapi mereka tetap memimpin daerah masing-masing.

Kepada raja-raja tersebut, Belanda memberikan juga tongkat jabatan. Raja Tanjung Mas (dari Simpang Kanan) dan Raja Tualang (dari Simpang Kiri) diberi tongkat jabatan berjambul emas, mengingat keduanya adalah raja yang diangkat oleh Kesultanan Aceh pertama kali. Sedang raja-raja lain diberi tongkat jabatan berjambul perak. Setiap raja didampingi pengapit (Mentri) dalam melaksanakan tugasnya.

Sumber: (Alm.) Drs. H. Sayed Mudhahar Ahmad dalam buku ‘Ketika Pala Mulai Berbunga (Seraut Wajah Aceh Selatan)’ (sumber)
SHARE

About peace

    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus

Terbaru